ANALISIS FUNDAMENTAL: PT. Multi Indocitra, Tbk (MICE)

 

Ketertarikan awal ke perusahaan ini bermula dari random search perusahaan yang listing di BEI. Sekilas ada beberapa keystats dan hal-hal yang menarik sebagai berikut:

  1. Laba dan free cash flow positif. Selain itu MICE ini cukup rutin bagi dividen dengan payout ratio yang sehat 10%-20%.
  2. Bergerak di sektor yang menurut kami bisa bertumbuh baik di Indonesia, dimana Indonesia ini negara yang bagus di sektor konsumtif.
  3. Produk-produknya mayoritas adalah barang yang cepat habis di konsumsi/digunakan. Kami kurang menyukai perusahaan yang produk/jasanya bersifat “sekali pakai” maksudnya ketika konsumen sudah membelinya tidak terjadi repeat order lagi dalam waktu yang sangat lama.
  4. Well known brands, Pigeon, Pigeon Teens, Purbasari, dll. Salah satu produknya, Youvit adalah produk yang sering dikonsumsi anak saya. Produk-produk mainan anak yang didistribusikan juga brand-brand terkenal seperti Fisher Price, Mattel, Barbie, Hot Wheels, Mega Blocks, Thomas & Friends.
  5. Terakhir ada investor perorangan yang punya very big stake di MICE yaitu Bapak Sukarto Bujung. Dari data yang kami amati berikut perjalanan kepemilikannya di MICE:
  • Q4 2015: masuk dengan kepemilikan 6,68% di harga 350-380
  • 2016: meningkat menjadi 7,51% di harga 500-an
  • 2018: bertambah lagi menjadi 8,73% di harga 400-an
  • 2020: bertambah lagi menjadi 10,5% di harga 300-350
  • 2021: sedikit bertambah menjadi 10,59% di harga 350-380
  • Q2 2022: turun ke 9,01% sepertinya beliau menjual di harga 400-430
  • Akhir 2022: meningkat kembali ke 10,95% di harga 400-500
  • 2023 (hingga Q2): akumulasi terakhir hingga 11,27% di harga 500-700

Jadi mayoritas kepemilikannya kami perkirakan berada di level harga 400-an, dengan sebagian kecil beliau punya barang di harga hampir puncak. Selain itu ada PT. Hoki Investasi Sejati (HIS) sebagai pemegang saham institusi dengan kepemilikan sebesar 6,57%. HIS ini perusahaan investasi yang dimiliki oleh Bapak Sukarto Bujung dan merupakan anak perusahaan dari PT. Buyung Poetra Sembada, Tbk (HOKI) dengan kepemilikan 99,99% dimana Bapak Sukarto Bujung adalah direktur utamanya. HIS ini baru mendapatkan kepemilikannya di MICE pada tahun 2023.


Beberapa hal di atas membuat kami tertarik menganalisis MICE ini lebih detil lagi. Apakah MICE ini memang benar memiliki prospek bisnis yang menarik dan layak dijadikan strong watchlist dalam Arvest Portfolio? Let's analyze

 

COMPANY OVERVIEW:

PT. Multi Indocitra, Tbk (MICE) yang IPO pada tahun 2005 mulanya didirikan pada tanggal 11 Januari 1990 dengan tujuan sebagai perusahaan distribusi produk perawatan kesehatan dan aksesoris bayi, ibu hamil dan menyusui. Namun 5 tahun setelahnya pada 1995, dimana pada waktu itu ekonomi saat itu menarik investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia sehingga MICE mendapatkan kesempatan menjalin kerjasama dengan Pigeon Corporation Japan untuk memproduksi botol dan dot bayi di Indonesia. Sejalan dengan hal tersebut PT. Pigeon Indonesia didirikan pada 1 Mei 1995 dengan kegiatan utama untuk manufaktur dot silicon yang akhirnya menjadi produk andalan MICE hingga saat ini.


Brand “Pigeon” yang lisensinya dimiliki oleh MICE telah menjadi top of mind sebagai produk berkualitas tinggi yang memberikan kenyamanan bagi konsumennya. Botol susu dan dot Pigeon telah menguasai market share sekitar 2/3 atau sekitar 66% lebih di Indonesia dengan distribusi yang di handle sendiri oleh divisi distribusi MICE baik di pasar tradisional maupun modern trade.


MICE juga memiliki bisnis lain selain botol susu dan dot bayi yang dijalankan oleh beberapa entitas anak sebagai berikut:

  • PT. Multielok Cosmetic (MEC), memproduksi berbagai macam produk kosmetik/skincare dan toiletries untuk bayi dengan merek ”Pigeon”
  • PT. Citra Makmur Ritailindo (CMR), penjualan retail store untuk produk bayi dengan nama toko ritel “Pigeon”. Saat ini memiliki 22 showroom Pigeon yang tersebar di mall terkemuka Jakarta dan sekitarnya serta Surabaya.
  • PT. Sinergi Multi Distrindo (SMD), distributor barang perlengkapan bayi dan barang konsumsi, memiliki 2 central warehouse di Cikande-Serang & Surabaya dan 6 cabang di Jakarta, Surabaya, Bandung, Tangerang, Bogor, Makassar. SMD mendistribusikan produk dari 12 principal

  • PT. Digital Niaga Indonesia (DNI), penjualan retail lebih tepatnya sebagai brand enabler, online retail dan digital marketing agency.

  • PT. Multitrans Nusantara Logistik (MNL), jasa transportasi
  • PT. Digital Citra Mandiri (DCM)e-commerce dan kegiatan usaha online


Selain itu, MICE memiliki penyertaan saham di PT. Pigeon Indonesia (PI) sebesar 35% sehingga laporan keuangannya tidak di konsolidasikan dalam MICE namun dicatatkan dengan metode ekuitas. Dimana bagian laba/rugi PI diakui sebagai pendapatan atau beban dalam laporan laba/rugi MICE, proporsional dengan kepemilikannya (35%), sedangkan investasi awalnya dicatat sebagai aset dan nilainya disesuaikan berdasarkan perubahan ekuitas (laba/rugi atau dividen).


PI ini yang memproduksi botol dan dot di MICE yang merupakan backbone penyumbang revenue terbesar.

 

VISI: Menjadi pemasar utama bagi produk-produk konsumen yang aman, berkualitas, dengan harga yang kompetitif serta memberikan manfaat yang tinggi bagi masyarakat.

MISI: Meningkatkan kinerja secara berkelanjutan melalui pemanfaatan sumber daya dan teknologi guna memenuhi kepuasan pelanggan serta meningkatkan nilai bagi masyarakat dan pemegang saham.

 

SHAREHOLDER STRUCTURE: (Per Q3 2024)

 

COMPANY STRATEGY:

  • Melakukan ekspansi dan inovasi baik di offline dan online.
  • Segmen baby product sebagai kontributor terbesar akan terus diperkuat baik secara brand equity “Pigeon”
  • Untuk produk skincare sebagai segmen yang menunjang pertumbuhan di masa depan, MICE akan berusaha memperbesar market share
  • Untuk memanfaatkan distribution channel agar lebih maksimal, MICE akan terus menjajaki produk-produk yang berpeluang tinggi di pasar dan akan berusaha selalu mengikuti trend yang ada
  • Memaksimalkan utilisasi dari aset-aset yang masih idle menjadi aset produktif yang bisa mendatangkan laba

 

Key Takeaways Bisnis MICE

  • Produk andalan MICE adalah produk-produk di segmen baby care dengan brand “Pigeon”. Untuk produk botol dan dot market share-nya mencapai 60%-70% di Indonesia. Namun perlu diingat oleh karena MICE hanya memiliki 35% saham di PI, maka laba MICE yang berasal dari PI ini hanya sebesar 35% dari total laba PI.
  • MICE merambah pasar ekspor namun secara tidak langsung, yaitu melalui Pigeon Singapore ke Asia Tenggara dan negara-negara Timur Tengah, jadi dari entitas asosiasinya PI dan entitas anak MEC melakukan penjualan ke Pigeon Singapore terlebih dahulu baru di edarkan ke negara lain. Ekspor sekitar 20%-30%, sisanya lokal.
  • Tahun 2015, revenue MICE naik, GPM (gross profit margin) tetap bertahan namun secara OPM (operating profit margin) anjlok dari 10,6% menjadi 6,4%. Kami berpendapat hal tersebut terjadi karena persaingan yang intense sehingga MICE harus memperbesar biaya untuk advertising dan insentif supaya tetap dapat mempertahankan market share-nya. Selain itu di 2015 ada masalah kenaikan BBM dan upah minimum.
  • MICE terikat kontrak dengan Pigeon Jepang dan tidak boleh memasarkan brand selain milik Pigeon, selain itu walaupun punya fasilitas manufaktur sendiri, juga tidak boleh memproduksi produk dengan segmen yang serupa dengan Pigeon. Oleh karena itu untuk membuat brand sendiri MICE memilih di segmen yang berbeda dengan Pigeon yaitu di segmen kosmetik dengan brand “KAILA”. Kami berpendapat, ini juga yang menjadi growth driver MICE kedepannya.
  • Per 2023 kontribusi revenue: produk Pigeon mencerminkan 70% revenue dan 25% dari skincare. Dari brand Pigeon sendiri, botol dan dot menyumbang 65% revenue, toiletries dan sabun 6-7%. Ini yang akan menjadi growth driver karena pasarnya jauh lebih besar daripada botol dan dot. Selain itu ada produk-produk dari MICE yang merambah ke rumah sakit dimana industri rumah sakit ini belakangan sedang berkembang.

 

ANALISIS BISNIS MICE

Saat ini kondisi bisnis MICE berada di area yang menurut kami highly competitive. Bagaimana tidak, produk lokal maupun dari China juga ikut bersaing di segmen ini. Kabar baiknya, Pigeon memiliki brand equity yang amat baik sekaligus sebagai pemimpin pasar. Hal itu menjadi sebagai barrier bagi pemain baru dalam membangun brand equity untuk bersaing dengan Pigeon. Selain itu MICE memiliki jaringan distribusi sendiri yang menurut kami cukup mapan. Infrastruktur distribusi yang mapan dan komprehensif ini adalah hal yang amat susah ditiru oleh kompetitor. Belum lagi hal-hal yang berkaitan dengan keamanan dan kenyamanan produk baby yang cukup ketat yang memberikan barrier of entry yang cukup lumayan untuk pendatang baru. Jadi di segmen baby ini, pricing tampaknya tidak begitu elastis dan mudah bagi pemain baru yang hanya bermodalkan economies of scale sehingga memiliki keunggulan harga murah seperti layaknya produk-produk yang ada di Mr. DIY (MDIY), keamanan produk yang dikonsumsi bayi menurut kami memberikan natural barrier bagi hal tersebut. Murah tapi tidak aman buat bayi juga tidak akan berhasil di segmen ini.


Secara pemasok, MICE ini memiliki ketergantungan amat sangat tinggi kepada satu pemasok yaitu Pigeon Jepang dan tampaknya juga dalam waktu dekat tidak akan mampu beralih ke pemasok lain. Bargaining power pemasok ini tampak amat kuat seperti yang terjadi di tahun 2017 dimana yang awalnya PI ini sahamnya dimiliki 65% oleh MICE dan 35% oleh Pigeon Jepang, jadi terbalik karena pihak Jepang ingin menjadi mayoritas dengan iming-iming akan memasukkan lebih banyak ragam produk Pigeon ke Indonesia. Sehingga setelah tahun 2017 posisi kepemilikan PI menjadi 65% Pigeon Jepang dan 35% MICE. Metode pencatatan di laporan keuangannya pun yang semula dicatatkan secara konsolidasi menjadi equity method. Padahal PI ini adalah penyumbang revenue terbesar MICE. Namun, ternyata di tahun-tahun berikutnya hal tersebut terbukti bukan rencana yang buruk, karena laba MICE dari PI terbukti meningkat dengan masuknya lebih banyak produk Pigeon yang dapat dijual oleh PI. Untuk produk-produk dengan brand non Pigeon dimana MICE bekerja sama dengan banyak principal, kami menilainya MICE memiliki bargaining power yang baik karena hubungan timbal balik saling membutuhkan. Walaupun di masa depan ada kemungkinan principal tersebut akan membangun jalur distribusinya sendiri, namun dari sisi MICE bukan ancaman serius selama MICE dapat secara konsisten menambah principal baru sehingga dapat semakin efisien dalam melakukan proses distribusinya.


Dari perspektif konsumen, pembeli di segmen perawatan bayi cenderung memilih produk berkualitas tinggi karena menyangkut keamanan bayi, kecuali mungkin yang masyarakat di tingkat sosial bawah. Namun produk Pigeon ini kami merasa berada di segmentasi menengah-menengah atas dimana pertimbangannya tidak lagi “yang penting murah” namun juga ada pertimbangan terhadap kualitas dan keamanan. Sedangkan di segmen diluar perawatan bayi, konsumen MICE adalah perusahaan-perusahaan milik principal yang produknya diedarkan/didistribusikan oleh MICE, untuk hal ini MICE tidak memiliki ketergantungan terhadap 1 principal, sehingga daya tawar MICE cenderung baik.


Terkait ancaman dari produk substitusi, menurut kami mungkin akan datang dari produk perawatan bayi yang berbahan organik. Berdasarkan riset kami produk-produk itu adalah berikut:

  • Botol susu organik ramah lingkungan berbahan silikon food-grade yang bebas bahan kimia berbahaya, brands “Haakaa” dan “Lifefactory”
  • Perawatan kulit bayi dengan bahan alami organik bebas bahan kimia keras, brands “Bud’s Organics”, “Mama’s Choice”
  • Popok organik berbahan alami biodegradable bebas pewarna dan klorin, brands “Beaba”, “Pampers Pure Protection”
  • Peralatan makan organik yang menggunakan bahan daur ulang seperti plastic foor-grade, silikon food-grade, brands “Re-Play”, “Marcus & Marcus”.

Kami berpendapat produk-produk substitusi tersebut mengancam dalam skala kecil, namun switching cost untuk konsumen relatif rendah karena memang jumlah ketersediaannya tidak akan bisa menyamai produk MICE sehingga belum bisa bersaing secara luas dalam hal harga dan ketersediaan.


Terakhir faktor persaingan di antara pemain di industrinya yang memiliki banyak pemain besar, baik lokal maupun global, seperti Johnson & Johnson, Zwitsal, dan banyak merek-merek lainnya. Menurut kami kompetisi dalam harga dan inovasi produknya cukup intens. Tapi Pigeon ini kami lihat memiliki keunggulan di hal diferensiasi produk dan brands equity-nya yang kuat sehingga tetap dapat menguasai market share. Di segmen kosmetik malah kompetisinya lebih sadis lagi, dan untuk yang satu ini kami belum melihat skincare produksi MICE yang digadang-gadang sebagai growth driver MICE di masa depan dapat bersaing.

 

ANALISIS LAPORAN KEUANGAN

Untuk laporan keuangan kami tidak akan terlalu membahas banyak tentang yang bagus-bagus seperti revenue bertumbuh, dividen rutin, laba positif, dll. Namun kami akan lebih fokus menyoroti hal-hal yang menurut kami buruk atau bisa termasuk kategori red flag.


Jadi pertama-tama dimulai dari baik-baiknya dulu, MICE ini selalu mencatatkan pertumbuhan revenue yang konsisten, artinya tidak ada masalah dalam penjualan produk-produknya.


CAGR revenue bertumbuh 6,8% dan marjin laba kotornya tampak sehat sekitar 50% walaupun di 2022-2024 turun ke 47%-49% yang memang kita tahu kondisi makro ekonomi sedang tidak menentu.

Sekarang saatnya melihat yang buruk-buruk di laporan keuangan MICE:


1.     Manajemen MICE Memiliki Investasi Saham Yang -86,4% Di Grupnya Sendiri!

Perhatikan beberapa hal di bawah ini:


Ini adalah 3 pos paling likuid dalam neraca aset MICE di tahun 2016 (kas, deposito, dan investasi saham). MICE mimiliki investasi saham sebesar 8,2 miliar rupiah di saham PT. Modernland Realty, Tbk (MDLN) yang ternyata harga belinya di 8,9 miliar. Berarti investasi saham tersebut sudah floating loss -8,6% atau senilai 768 juta. Sekarang perhatikan laporang keuangan Q3 2024 ini:

Nilainya tersisa 1,2 miliar atau sudah capital loss -86,4%! Suatu pemborosan yang sangat tidak perlu, padahal bisa saja menggunakan manajer investasi baik secara internal atau eksternal seperti kami Arvest jika ingin menyisihkan kasnya untuk investasi saham. Dana sebesar 8,9 miliar, all-in single stock di MDLN ini bagi kami yang sudah berpengalaman di dunia pengelolaan dana adalah tindakan yang super nekat!


Ternyata setelah kami cari tahu MDLN ini perusahaan milik keluarga Honoris dimana keluarga dari Direktur Utama MICE juga. Direktur Utama MICE adalah Bapak Anthony Honoris sedangkan Komisaris Utama MDLN bernama Bapak Luntungan Honoris dan Direktur Utama MDLN adalah Bapak William Honoris.

 

Sekilas Keluarga Honoris

Keluarga Honoris adalah pendiri Modern Group yang awalnya dimulai oleh Otje Honoris pada 12 Mei 1971 dengan nama PT. Modern Photo Film (MPF), bergerak dibidang produksi kamera pertama buatan Indonesia bermerek Fujica dan sebagai distributor tunggal Fujifilm Jepang di Indonesia. Otje Honoris memiliki 4 anak yaitu Luntungan Honoris (saat ini Komisaris Utama MDLN), Sungkono Honoris, Samadikun Hartono, dan Siewie Honoris dengan Samadikun sebagai pemimpin Modern Group sepeninggal Otje Honoris tahun 1982. Kemudian mereka mendirikan PT. Inti Putra Modern (IPM) sebagai perusahaan induk.


Di bawah naungan IPM, Modern Group melebarkan sayap bisnisnya merambah bidang indusri, perdagangan, properti, transportasi, keuangan, dll. Hingga badai krisis moneter 1997 menghantam yang membuat grup ini terlilit utang. Sebagaimana umumnya perusahaan konglomerasi saat itu, Bank Modern sebagai divisi keuangan grup ini terkena masalah likuiditas sampai harus ditolong oleh Bank Indonesia melalui BLBI. Karena masalah tidak kunjung usai Bank Indonesia (BI) akhirnya menutup bisnis Bank Modern pada tahun 1998.


Setelah peristiwa 1998 itu, Modern Group berjuang untuk keluar dari kebangkrutan. MPF (setelah berganti nama beberapa kali, sekarang bernama PT. Modern Internasional, Tbk) yang telah IPO di 1991 dengan kode MDRN dan PT. Modernland Realty, Tbk (MDLN) yang IPO di 1993 terbelit utang dalam jumlah besar.


Utang Modern Group ini terus membengkak hingga puncaknya tahun 2004 mencapai 829 miliar, sehingga ekuitasnya menyusut tajam. Namun di 2006, grup ini melakukan debt to equity swap sehingga membuat debt to equity ratio (DER)-nya menjadi lebih sehat dari yang sebelumnya 600% menjadi 180%. Mungkin Modern Group harus merelakan sahamnya ke Asialink Electronics, namun kami tidak mendapatkan datanya. Data paling lama yang kami dapatkan yaitu per tahun 2011, Asialink Electronics memiliki saham MDRN dengan kepemilikan hingga 38,92%, sementara keluarga Honoris melalui IPM hanya memiliki 17,17%. Kepemilikan IPM ini terus menyusut hingga saat ini hilang dari pemegang saham MDRN.

 

Permasalahan Modern Group tidak sampai disitu saja, bisnis inti grup ini di bidang perlengkapan fotografi konvensional mulai tergusur dengan maraknya fotografi digital. Teknologi kamera digital yang berkembang dengan pesat membuat jualan grup ini jadi tidak selaris dulu. Akhirnya Modern Group merubah fokus bisnisnya dari bisnis fotografi ke bisnis ritel dengan mendirikan PT. Modern Putra Indonesia di tahun 2009 dengan mengusung brand waralaba convenient stores asal Amerika Serikat “7-Eleven” (SEVEL). Namun bisnis tersebut hanya bisa bertahan selama 8 tahun, di tahun 2017 karena tekanan utang, Sevel Indonesia terpaksa harus tutup.


Jadi kami menilai investasi saham MICE di MDLN ini adalah hal yang tidak align atau tidak sejalan antara kepentingan investor publik dengan manajemen perusahaan/owner karena erat kaitannya dengan kepentingan keluarga Honoris sendiri. Kami tidak tahu apakah di masa depan MDLN ini bisa berkinerja baik atau tidak, namun keputusan manajemen MICE dengan membeli saham MDLN di 2016 di harga sekitar 400 rupiah dan saat ini menjadi 51 rupiah, menurut kami sungguh bukan langkah yang baik. Butuh return sekitar 735% alias 7-bagger untuk membuat capital loss -86,4% ini impas! YES 7-Bagger (SEGER) bukan 7-Eleven (SEVEL)!!! Salah satu sumber utama trust issue ke manajemen.

 

2.    Perbedaan Signifikan Antara Earning Per Share (EPS) Dengan Core Earnings!

Jadi sejak tahun 2011-2023 setidaknya terjadi beberapa kali EPS dan core earnings-nya terpaut jauh, core earnings didapatkan dengan menghitung laba sebelum pajak dikurangi dengan pendapatan/beban yang sifatnya one time gain/expenses dan yang bukan termasuk bisnis inti perusahaan seperti pendapatan dari asuransi, jual aset, dll. Perhatikan tabel ini:

  • 2017: core earnings sebenarnya jauh lebih rendah karena pada waktu itu sebagian besar laba dihasilkan dari jual saham PI ke Pigeon Jepang yang nilainya 69% lebih dari laba sebelum pajak MICE di tahun itu.
  • 2019: laba dari penjualan aset tetap dan “lain-lain” mencapai 51,6% dari laba sebelum pajak.
  • 2023: di tahun 2023 ini malah core earnings-nya sebetulnya minus namun secara EPS tampak menghasilkan laba karena pos “lain-lain” nilainya 131% lebih besar dari laba sebelum pajak yang artinya apabila “lain-lain” tersebut ditiadakan, maka MICE mencatatkan rugi bersih.
  • 2024: juga sama seperti yang terjadi di tahun 2023, laba MICE 82,8% dari pos “lain-lain”.

Pos “lain-lain” ini dugaan saya bersumber dari surplus revaluasi aset tetap karena tampaknya MICE ini rajin sekali melakukan revaluasi terhadap aset-aset tetapnya. Namun untuk lebih detailnya harus ditanyakan ke manajemen perusahaan.

Jadi terjadi perbedaan P/E ratio yang signifikan, jika kita lihat sekilas menggunakan EPS, maka saat analisis ini dibuat harga saham MICE sekitar 500 rupiah per lembar saham mencerminkan P/E 6,48x. Namun, jika kita menggunakan core earnings maka P/E-nya jadi 72,56x!

 

3. Interest Bearing Debt Konsisten Meningkat Dengan Penggunaan Yang Tidak Efisien!

Utang berbunga MICE meningkat dari tahun ke tahun yang membuat interest coverage ratio dan cost of debt-nya memburuk. Karena uang dari utang berbunga meningkatkan total aset, maka seharusnya penggunaan utang yang baik juga harus mampu meningkatkan ROA atau setidaknya ROA-nya stabil. Sayang sekali rasio ROA yang sudah baik di 2011-2012 terutama korelasi antara ROA dengan cost of debt tidak bisa dipertahankan saat ini.


4. ROE & ROIC Juga Tidak Baik

Dari breakdown struktur pembentuk ROE ini kami melihat bahwa yang membuat ROE-nya jelek karena turnover assets MICE ini kurang baik, hanya mampu mencatatkan angka nol koma sekian. Sebagai pembanding di perusahaan sejenis setidaknya rasio ini harusnya bisa diperbaiki di angka 1,5x – 2,5x. Penyebabnya kami rasa ada di pengelolaan inventory yang kurang efisien. Misalnya di tahun 2024, apabila TATO-nya bisa mencapai angka 1,5x saja maka ROE-nya akan naik ke 10%. Apalagi kalau bisa lebih tinggi lagi disertai dengan profit margin yang lebih baik. Wah mantab!


Begitu juga secara ROIC, tidak akan bisa baik apabila manajemen tidak menguasai salah satu skill penting CEO yaitu sebagai good capital allocator. Ditambah masalah trust issue di poin no-1 tadi yang merupakan bentuk alokasi kas yang sangat buruk.

 

5 . Total Compensation & Remuneration (TCC) Manajemen Kunci Tidak Sejalan Dengan Kinerja Perusahaan!

Sebagai investor publik tentu saja kami tidak ada masalah dengan manajemen yang mengambil kompensasi dan remunerasi (TCC) yang sesuai dengan progress pertumbuhan kinerja perusahaan. Terutama apabila perusahaan tersebut selain bertumbuh juga dapat melakukan expanded moat! Perhatikan TCC MICE relatif dengan kinerjanya di bawah ini:


 

THE BEAR CASE

Setelah melakukan analisis kualitatif maupun kuantitatif dan dengan pemahaman yang telah didapatkan terhadap bisnis MICE melalui serangkaian analisis tersebut. Selanjutnya investor dapat melakukan inverted analysis dengan memikirkan hal-hal atau peristiwa apa saja yang mungkin saja terjadi di masa depan yang dapat membuat bisnis MICE ini gagal total.


Kami memikirkan dan mempertimbangkan beberapa hal berikut:

  • Ketergantungan amat sangat kuat terhadap Pigeon Jepang sehingga apabila suatu saat kerjasama tersebut putus maka bisnis MICE akan gagal total.
  • Trust konsumen kepada brand yang diusung oleh MICE terutama Pigeon rusak
  • MICE gagal mengembangkan brand-nya sendiri
  • Konsumen maupun Supplier segmen distribusi MICE memutuskan kontraknya dengan MICE
  • Kompetensi dan integritas manajemen tidak berjalan dengan baik


Selesainya serangkaian analisis ini seharusnya sudah dapat memberikan gambaran besar kepada investor baik itu kualitas bisnis perusahaan maupun kualitas manajemennya. Yang terakhir adalah bagaimana valuasinya?

Investor apabila dari analisis sudah tidak merasa sreg dengan perusahaannya, maka sebenarnya tidak perlu sampai melakukan valuasi. Namun bagian valuasi ini tetap kami sediakan untuk tujuan konsumsi umum sebagai bahan edukasi yang menjadi tujuan dari Arvest.

 

VALUATION

Paling mudah adalah menghitung berapa Liquidation Value-nya.

 

Liquidation Value

Kas (100%) = 48.625.792.422

Investasi saham (50%) = 612.000.000

Piutang Usaha (75%) = 175.429.664.809

Persediaan (80%) = 284.437.807.949

Penyertaan Saham (100%) = 97.144.745.206

Aset Tetap (50%) = 267.977.072.403

TOTAL ADJUSTED ASSETS = 874.277.082.789

TOTAL LIABILITIES = 453.247.234.043

 

Liquidation Value        = Total Adjusted Assets – Total Liabilities

                                               = 421.029.848.746

Jumlah saham beredar = 600.000.000 lembar

 

Liquidation Value/Share = 702 Rupiah/Lembar Saham

50% Margin Of Safety = 351 Rupiah/Lembar Saham

 

Jadi apabila dihitung menggunakan liquidation value maka harga max buy apabila kita ingin membeli saham MICE adalah di harga 351 rupiah per lembar saham alias mirip-mirip dengan harga beli pak Sukarto Bujung pada awal entry dulu di 2016 atau di 2020-2021.

 

PRICE TO EARNING GROWTH (PEG)

Yang kedua jika kita melakukan valuasi dengan metode PEG, dengan catatan sudah benar-benar mempertimbangkan potensi bisnis perusahaan serta investor yakin dengan kualitas bisnis MICE dan kualitas manajemennya. Kami berpendapat bahwa di tahun 2024 ini memang kondisi bisnis berbasis konsumen tidak begitu baik secara umum, tercermin dari penurunan banyak sektor sehingga kami tidak menggunakan core earnings di tahun 2024 ini yang mencatatkan hanya 6,89 rupiah per lembar saham. Namun kami berpendapat bahwa MICE ini setidaknya tidak ada masalah dalam mendapatkan Core Earning Per Share (CEPS) 25 rupiah per lembar saham setara dengan kinerja tahun 2019 ketika kondisi sudah mulai stabil nantinya. P/E-MICE ada di angka 20x. Apakah MICE dapat bertumbuh sebesar 20% per tahun agar bisa men-justify P/E 20x itu? Kami tidak yakin.

Asumsi kami dari bisnis MICE ini setidaknya dapat bertumbuh sebesar 10% per tahun dan dengan dividend yield 2% per tahun, maka PEG-nya menjadi 0.6x. Maka intrinsic value MICE ini ada di 300 rupiah per lembar saham.

Kesimpulannya harga MICE saat ini Overvalued!

 

DISCLAIMER: Arvest tidak memiliki posisi di MICE, materi ini hanya untuk tujuan edukasi.

 

Thanks for reading…


Source: Company Annual Reports, Financial Statements, Company Website, Company Presentations, Public Expose, Scuttlebutt