Tak terasa sudah menjelang penutupan tahun 2024, bagaimana kinerja portofolio investasi saham teman-teman? semoga tetap aman dan compounding ya...


Apakah Anda termasuk orang yang cenderung optimis atau pesimis? Pernahkah Anda bertanya mana yang lebih baik dalam berinvestasi di pasar saham? Untuk menjelaskannya pertama-tama saya akan menceritakan sebuah cerita yang cukup menarik dari Ronald Reagan (Presiden Amerika ke-40, 1981-1989):


“Ada dua saudara laki-laki. Yang satu adalah seorang pesimis sejati, sementara yang lainnya adalah seorang optimis yang tak dapat disembuhkan. Orang tua mereka merasa kedua anak ini terlalu tidak realistis, jadi mereka berkonsultasi dengan seorang psikiater, yang memberikan ide untuk hadiah Natal: Berikan anak yang pesimis sebuah kamar penuh dengan mainan paling luar biasa dan katakana bahwa semuanya adalah untuknya. Sedangkan untuk anak yang optimis, berikan sebuah kamar penuh dengan kotoran kuda dan katakan bahwa itu saja yang dia dapatkan. Itu seharusnya bisa “menyembuhkan” mereka.


Orang tua itu mengikuti saran tersebut. Ketika mereka memeriksa kedua anaknya, anak yang pesimis dengan semua mainan itu menangis dan mengatakan, “Seseorang pasti akan mengambil semua ini dari saya,” katanya. Sementara itu, anak yang optimis dengan kamar penuh kotoran kuda malah terlihat sangat bahagia. Dia menggali dengan penuh semangat sambil berkata, “Pasti ada mainan kuda di sini di suatu tempat!”


Para optimis dan pesimis tidak merespons informasi/fakta yang mereka lihat sebanyak mereka merespons interpretasi dari apa yang INGIN mereka lihat. Sikap dan pola pikir kita menentukan bagaimana kita merespons situasi, lebih dari fakta atau informasi objektif yang sebenarnya kita miliki. Orang yang pesimis cenderung fokus pada potensi kerugian atau bahaya, meskipun situasinya sebenarnya sangat baik. Sedangkan orang yang optimis selalu berusaha menemukan potensi atau peluang, bahkan jika hal itu tidak realistis.


Seperti yang dikatakan Henry Manampiring dalam bukunya yang berjudul Filosofi Teras bahwa “Fakta itu netral, opini manusia yang menggiringnya ke positif atau negatif.” Dalam berinvestasi, kita akan dituntut untuk terus membaca baik itu berita koran, berita di internet, media sosial, laporan tahunan, presentasi perusahaan, dll. Berusahalah untuk menerima segala fakta atau informasi yang ada dalam bacaan-bacaan tersebut secara netral tanpa beropini positif atau negatif terlebih dahulu.


Seringkali jika berita tentang suatu perusahaan yang kita baca narasinya positif dan kebetulan kita memiliki sahamnya, secara otomatis kita akan merasa optimis sampai lupa tentang risikonya, sebaliknya apabila narasinya negatif kita juga akan secara sadar atau tidak merasa pesimis ingin menjual sahamnya. Apalagi jika didukung dengan pergerakan harga saham yang sejalan dengan beritanya, waktu narasi berita yang kita baca positif kebetulan harga sahamnya naik atau waktu narasi beritanya negatif harga sahamnya turun. Kita akan langsung cepat menyimpulkan berdasarkan optimisme atau pesimisme kita. Ya, itu normal sebagai manusia, namun bisa berbahaya apabila keputusan investasi kita digerakkan oleh optimisme dan pesimisme.


INGAT!: HARGA SAHAM NAIK BUKAN BERARTI KITA BENAR, BEGITU JUGA HARGA SAHAM TURUN BUKAN BERARTI KITA SALAH!

 

Howard Marks dalam bukunya yang berjudul The Most Important Things menjelaskan tentang konsep berpikir yang Ia namakan First-Level Thinking dan Second-Level Thinking yang sangat membantu dalam membuat keputusan investasi. Berikut penjelasannya:

 

First-Level Thinking

First-Level Thinking adalah pemikiran yang dangkal atau langsung. Ini adalah bentuk respons pertama terhadap sebuah situasi tanpa mempertimbangkan kompleksitas atau implikasi jangka panjangnya. Contoh: “Beli saham itu yang bluechip-bluechip saja pasti aman”, “Perusahaan ini labanya tinggi, jadi sahamnya pasti bagus”, “Saham ini murah karena P/E-nya rendah, jadi harus dibeli.” Kecenderungan dari First-Level Thinking ini hanya melihat tren, statistic keystats atau hasil langsung tanpa menganalisis lebih lanjut.

Anda tidak akan bisa survive di pasar saham dalam jangka panjang jika mengandalkan first-level thinking ini. Tidak ada insight yang spesial yang Anda dapatkan dari sini. Bayangkan semua orang di pasar saham berpikir seperti ini, hasilnya tidak akan menarik karena semua orang menuju ke tempat yang sama.

 

Second-Level Thinking

Second-Level Thinking adalah pemikiran yang lebih mendalam, analitis, dan strategis yang melibatkan pertimbangan konsekuensi dari berbagai macam skenario dan akhirnya dapat menemukan atau menyadari apa yang belum diketahui orang lain. Contoh: “Perusahaan ini labanya tinggi, tetapi apakah labanya bisa berkelanjutan? Apakah perusahaan ini memiliki competitive advantage? Skenario apa yang membuat perusahaan ini akan gagal di masa depan? Apakah top-level management-nya orang-orang berintegritas?”, “Saham ini tampak murah dengan P/E rendah, apakah ini memang murah atau murahan? Apakah ada masalah struktural?”

Howard Marks mengatakan bahwa mayoritas pelaku pasar saham menggunakan first-level thinking, sehingga jika Anda investor jangka panjang dan ingin memiliki keunggulan di pasar saham, maka Anda harus menggunakan second-level thinking.

 

Daniel Kahneman, penerima Nobel Economic Science di tahun 2002 bersama dengan Amos Tversky mengatakan hal yang serupa dalam bukunya yang berjudul Thinking, Fast And Slow. Ia menjelaskannya menggunakan sebutan System 1 untuk hal-hal yang sifatnya intuisi dan cepat dan System 2 untuk hal-hal yang membutuhkan usaha kognitif. Namun penjelasannya lebih komprehensif yang tidak mungkin saya jabarkan mendetail di artikel ini. Silakan saja Anda membaca bukunya.

Pendapat saya, daripada bingung harus bersikap optimis atau pesimis lebih baik tetaplah netral dalam kondisi apapun dan pikirkanlah secara mendalam tentang fakta/informasi yang Anda terima terutama apabila berkaitan dengan saham yang Anda miliki.

 

Thanks for reading…