Top Down Analysis Vs Bottom Up Analysis


Mungkin teman-teman pernah mendengar istilah Top Down Analysis ataupun Bottom Up Analysis, di mana untuk top down analysis sendiri proses menganalisanya dari kondisi makro ekonomi terlebih dahulu, kemudian baru ke industri / sektoral perusahaan dan terakhir baru ke emitennya sendiri. Berikut segitiga ilustrasi Top Down :



Tidak sedikit analis-analis saham yang menggunakan pendekatan ini, di mana analisa top down lebih simple dan up to date mengikuti perkembangan kondisi perekonomian terkini. Contohnya misalkan terjadi penurunan suku bunga bank, maka biasa para analis akan menyajikan saham-saham yang diuntungkan karena penurunan suku bunga ini, salah satu contohnya sektor properti. Karena penjualan properti di Indonesia mayoritas menggunakan fasilitas kredit, maka penurunan suku bunga bank dianggap sebagai sentimen positif yang dapat mendongkrak penjualan properti, makin rendah suku bunga makin menarik minat buyer properti untuk beli properti karena cicilan dan bunganya yang lebih murah, sebaliknya jika suku bunga naik maka kekhawatiran buyer untuk enggan membeli properti menjadi dasar mengapa penjualan properti biasanya juga akan turun. Dalam kasus ini berarti macro ekonominya berasal dari perubahan suku bunga, sektoralnya ke properti baru kemudian analis akan memberikan rekomendasi emiten-emiten properti mana yang menarik.


Selain itu contoh lainnya seperti melihat dari kurs USD terhadap rupiah, ketika USD terus menguat (rupiah melemah), maka perusahaan-perusahaan yang memiliki penjualan ekspor besar akan diuntungkan, sebaliknya perusahaan-perusahaan yang memiliki pembelian bahan baku impor akan dirugikan jika tidak mampu menyalurkan kenaikan bahan baku ke harga jualnya.

Gejolak kondisi dunia seperti perang dagang US - China , invasi Russia ke Ukraina, pergerakan harga-harga komoditas, juga biasa dijadikan analisa dalam makro ekonomi. Saya pribadi pernah menggunakan cara analisa top down ini lebih untuk trading saham, bukan untuk investasi jangka panjang. Namun pada akhirnya Arvest sama sekali tidak menganut prinsip top down ini untuk dasar analisa sahamnya. Mengapa kita menggunakan pendekatan Bottom Up daripada Top Down ?


Bottom Up Analysis


Metode analisa Bottom Up lebih menitikberatkan dari fundamental perusahaan terlebih dahulu ketimbang faktor sektoral maupun makro ekonominya. Ilustrasi segitiganya seperti ini :



Kita tentu ingin berinvestasi di perusahaan yang secara jangka panjang tahan terhadap segala badai, meminjam istilah Opa Warren Buffett “Berinvestasilah di perusahaan yang bisa anda tinggal tidur nyenyak dalam 10 - 20 tahun ke depan.” Oleh karena itu, jika fundamental perusahaan memang wonderful (memiliki business moat yang kuat dan gcg yang prudent) , apapun kondisi makro ekonomi akan bisa dilalui oleh emiten tersebut. 


Misalkan saham Coca-Cola yang dibeli oleh Buffett tahun 80-an, hingga tahun 2024 Buffett masih memegang emiten ini dan dari tahun 80-an hingga tahun 2024 tentu perusahaan Coca Cola sudah mengalami berbagai siklus macro ekonomi namun tetap dapat bertahan. Yang terutama dalam analisa fundamental sendiri apakah kita bisa mempunyai keyakinan perusahaan yang mau kita investasikan dapat bertahan belasan atau puluhan tahun ke depan ? Dari manakah sumber keyakinan kita itu didapatkan ? Ujung dari analisa ini kembali kepada business moat / economic moat yang dimiliki perusahaan tersebut. Tanpa memiliki business moat yang kuat, maka perusahaan akan mudah dihantam dengan berbagai kompetitor maupun tantangan dari ekonomi global.


Namun sebagai investor Bottom Up, kita juga harus jeli dan tidak boleh abai untuk memantau secara periodik fundamental perusahaan yang sudah kita miliki sahamnya, karena fundamental perusahaan bisa saja menurun karena business moatnya pudar, business moat pudar bisa terjadi karena berbagai hal, antara lain regulasi dan perkembangan zaman. 


Contoh perusahaan yang business moatnya pudar karena regulasi adalah perusahaan rokok, di mana rokok yang dulunya wonderful company sekarang sudah hilang moatnya akibat naiknya cukai rokok terus menerus tiap tahun, di mana kenaikan cukai tersebut tidak mampu dideliverkan ke harga jualnya, menyebabkan margin perusahaan rokok terus menerus tergerus. Ketika investor melihat sign penurunan margin profit secara konsisten, ini menunjukkan moat Brand pada rokok mulai hilang , konsumen-konsumen rokok beralih ke rokok-rokok yang lebih murah dan jika harga rokoknya dinaikkan, banyak konsumennya yang lari.


HMSP Dulu 5000 , Sekarang Tinggal 600an, Time To Buy ?


Inilah pentingnya untuk terus mengikuti perkembangan kinerja dari emiten yang kita investasikan. Untuk pendekatan top down sendiri, terkadang unsur “spekulasi” masih kental di mana seperti kasus emiten rokok di 2024, terdapat berita-berita yang mengatakan bahwa cukai tahun 2025 tidak akan naik sehingga menjadi sentimen positif untuk emiten rokok ke depannya.


Karena muncul berita seperti ini, saham-saham rokok kompak menguat berjamaah :




Hal-hal inilah yang sering menjadi jebakan untuk kaum analis top down, di mana ketika muncul berita macro dan langsung direspon oleh market, namun kinerja fundamentalnya belum terbukti, kemudian saham-saham tersebut kembali mengalami koreksi.


Bagi analis Bottom Up, mereka akan lebih melihat bagaimana cara perusahaan-perusahaan rokok untuk memulihkan revenue dan profit margin mereka. Misalkan dengan penjualan iqos dari HMSP, penjualan filter dari WIIM, bagaimana keberhasilan diversifikasi bandara ataupun jalan tol GGRM, hal-hal tersebut yang lebih menjadi pedoman bagi investor Bottom Up untuk membeli saham ketimbang berita bahwa cukai kemungkinan tidak akan naik di tahun depan.

Salah 1 buku favorit Arvest yang sangat detail membahas strategi pendekatan Bottom Up perusahaan ini adalah “Common Stocks And Uncommon Profits” karangan Phil Fisher.


Secara overall, pendekatan top down lebih menyajikan analisa yang up to date yang lebih sering digunakan sebagai basis dalam trading saham, sementara pendekatan bottom up lebih membutuhkan waktu yang lama untuk proses analisanya dan cenderung untuk investasi jangka panjang. Kelemahan dari Top Down sendiri pada akurasi analisanya yang tidak detail dan mengandung unsur spekulasi yang tinggi, sedangkan pendekatan Bottom Up sendiri memiliki kelemahan proses mendapatkan data dan informasinya yang jauh lebih susah dan membutuhkan effort tinggi (scuttlebut ke karyawan, supplier, client perusahaan).