Jika Anda pernah membaca artikel saya yang berjudul “Personal Finance: Pengalaman & Filosofi Yang Mengubah Hidup Saya”, Saya ada mengatakan 95% aset saya ada di saham, akan tampak bahwa saya sangat menyukai berinvestasi di saham dibandingkan instrumen investasi lainnya. 5%-nya adalah cash untuk kehidupan sehari-hari. Banyak kerabat-kerabat dan teman-teman di sekitar saya yang bertanya mengapa saya tidak melakukan diversifikasi dengan menempatkan seluruh investasi di saham dibandingkan di instrumen lainnya seperti properti (real estate, ruko, tanah), emas, perak, komoditas, forex, dan bahkan cryptocurrency? Artikel kali ini adalah penjelasan terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut.


Saham menurut saya adalah satu-satunya instrumen investasi yang dapat beradaptasi dari waktu ke waktu karena dibalik selembar saham ada sebuah bisnis/perusahaan yang beroperasi. Bisnis adalah hal yang adaptif dan berkembang mengikuti perubahan zaman, teknologi dan juga kondisi pasar. Bisnis melakukan sesuatu yang nyata seperti memproduksi suatu produk/jasa yang digunakan oleh orang dan/atau bisnis lain yang umumnya untuk tujuan meraih profitabilitas dalam jangka panjang. Oleh karenanya, saham memiliki tingkat return yang tinggi, bersifat likuid, dan jika portofolio saham kita dibangun dengan benar (berisi saham-saham perusahaan berkinerja baik, dijalankan oleh orang-orang yang berintegritas, dan dibeli di harga yang undervalued) maka volatilitasnya pun sepengalaman saya tidak akan terlalu ekstrem. Misalnya, emas yang selama ini dianggap “safe haven” justru akan lebih volatil dibandingkan saham, namun emas tidak menghasilkan apapun, ia hanya sebatas komoditas, begitu juga dengan instrumen-instrumen lain yang saya sebutkan di awal artikel ini.


Sekarang tentang cryptocurrency, beberapa orang mungkin saat ini suka berdebat apakah ini termasuk instrumen investasi atau bukan. Pandangan saya tentang cryptocurrency juga tidak jauh berbeda, apa yang dihasilkan oleh cryptocurrency? Apakah cryptocurrency melakukan sesuatu seperti bisnis yang beradaptasi dan bertumbuh? Jika ada orang yang bilang cryptocurrency adalah mata uang, maka sepengetahuan saya fungsi dasar sebuah mata uang adalah sebagai alat tukar. Semakin banyak pihak yang mengakui suatu mata uang sebagai alat pembayaran/alat tukar maka akan semakin berharga mata uang tersebut, seperti contohnya yang kita tahu yaitu US Dollar. Saya sampai saat ini belum pernah mendengar adopsi massal cryptocurrency sebagai alat tukar, siapa yang mau dibayar menggunakan bitcoin? Lalu harga cryptocurrency kok bisa naik drastis dalam 10 tahun terakhir ini? Ya ini tidak lain adalah karena sifat greater fool yang tidak dibarengi dengan kenaikan pihak yang mau mengadopsi bitcoin sebagai alat pembayaran. Mengapa saya harus menukarkan real currency (rupiah) untuk membeli cryptocurrency yang tidak bisa diterima dimanapun? Jadi menurut saya tujuan mayoritas orang-orang yang beli cryptocurrency yaitu untuk dijual lagi kemudian dengan harga yang lebih tinggi. Orang-orang yang melakukan mining cryptocurrency juga tujuannya sebagian besar pasti untuk dijual lagi. Jadi tidak ada alasan saya berinvestasi di cryptocurrency karena semua market maker exchange pada dasarnya untuk menjual cryptocurrency yang dimilikinya, bukan untuk mengakumulasi atau menampung sebanyak mungkin.


Sejak zaman Benjamin Graham hingga saat ini dunia telah berubah drastis dan bisnis yang berinovasi serta adaptif terhadap perubahan tersebut tetap survive. Bisnis yang tidak beradaptasi akan tertinggal dan digilas oleh kompetitor yang lebih baru atau lebih inovatif. Disinilah daya tarik saham, bisnis yang terdaftar di bursa saham itu likuid, mudah diperdagangkan. Sedangkan aset yang tidak likuid seperti perusahaan yang belum melakukan IPO (private company), posisinya akan sama dengan instrumen investasi yang tidak likuid lainnya, Anda akan sulit untuk keluar darinya tanpa effort dan biaya yang mungkin akan tinggi jika Anda harus memberikan komisi ke pihak ketiga yang membantu Anda menjualnya.


Lalu bagaimana dengan berinvestasi properti? Menurut saya tidak ada yang salah dengan berinvestasi di sektor ini. Banyak orang yang mendapatkan hasil memuaskan dari kenaikan harga propertinya. Namun, properti memiliki manajemen aktif: Anda harus merawatnya, membayar pajak, menyediakan biaya untuk pemeliharaan, dan menghadapi risiko seperti kerusakan akibat bencana alam. Mengelola properti ini serupa dengan memelihara ternak (setahu saya sapi dan kambing adalah investasi bagi orang-orang yang tinggal di desa), Anda harus memberikan perhatian dan upaya terus menerus. Tidak ada yang salah dengan ini, tetapi hal itu memerlukan lebih banyak usaha dibandingkan berinvestasi di saham, yang tidak memerlukan pemeliharaan aktif setelah dibeli. Oh ya, dalam berinvestasi di properti jangan lupakan satu elemen mendasar dari value investing yaitu jangan beli properti dengan harga yang kemahalan atau dengan kata lain belilah di harga yang undervalued.


Untuk mendapatkan properti di harga undervalued sepengetahuan saya tidak semudah mencari saham undervalued, tapi setidaknya ada 3 cara, Anda menemukan penjual properti yang dalam kondisi sangat BU (butuh uang), melalui Lelang, atau Anda dapat membeli tanah dengan surat masih berbentuk petok lalu Anda sertifikatkan sendiri di Badan Pertanahan Nasional (BPN). Cara yang ketiga adalah cara yang mungkin sering dilakukan oleh perusahaan-perusahaan developer real estate dengan terlebih dahulu mengetahui pengembangan kota dalam 10-20 tahun ke depan arahnya kemana, barulah perusahaan-perusahaan developer itu memborong tanah petok tersebut. Cara ini tampaknya paling aman, tapi ternyata tidak seaman yang Anda kira, saya akan ceritakan satu dari dua pengalaman saya sebagai lawyer yang dulu pernah menyelesaikan kasus tanah double sertifikat ini, dua-duanya sertifikat asli BPN. Berikut ceritanya:


"Jadi di tahun 1980-an, Pak Rudy yang berdomisili di Surabaya membeli tanah di daerah Kabupaten Probolinggo seluas 10 Ha untuk tujuan berinvestasi, karena tanah tersebut belum bersertifikat resmi BPN maka Pak Rudy membelinya melalui Kepala Desa setempat yang bernama Pak Agus dan tidak lama kemudian Sertifikat Hak Milik (SHM) tanah tersebut diurus dan sudah keluar resmi dari BPN atas nama Pak Rudy, tentu saja dengan bantuan Notaris & PPAT. Pada pertengahan 1990-an, ada pergantian Kepala Desa dan Pak Agus yang semula ingin anaknya yang bernama Pak Hendro menggantikannya ternyata kalah dengan pesaingnya yaitu Pak Budi. Pak Agus yang dasarnya tidak terima dengan kemenangan Pak Budi, ingin mempersulit pekerjaan Pak Budi dengan menyembunyikan buku klangsiran desa (buku yang berisi tanah-tanah yang ada di lokasi desa itu beserta nama para pemiliknya) dan mengatakan ke Pak Budi bahwa buku klangsiran desanya hilang tidak tahu dimana. Akhirnya dengan bersusah payah pak Budi membuat buku klangsiran desa baru dengan cara mulai mendata setiap tanah dan siapa nama pemilik yang memiliki tanah tersebut, namun karena Pak Rudy tinggal di Surabaya, maka tanah 10 Ha milik pak Rudy itu tidak ditemukan siapa pemiliknya oleh pak Budi, oleh karenanya ketika ada orang Surabaya lain yang bernama Pak Joko yang juga dari Surabaya datang ke desa itu dengan tujuan mencari tanah, dikatakanlah oleh pak Budi bahwa ada tanah 10 Ha yang tidak ada pemiliknya. Pak Joko akhirnya membeli tanah tersebut dan melakukan proses penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM) dari BPN Probolinggo yang juga secara resmi dengan bantuan Notaris & PPAT. BPN tidak melakukan pengecekan secara teliti sehingga sertifikat tersebut tetap diterbitkan walaupun di atas sepetak tanah yang sama. Pada tahun 2016, pada saat pak Rudy mulai ingin membangun tanahnya menjadi real estate ternyata tanah tersebut sudah dipagari dan tertera nama pemiliknya Pak Joko. Inilah awal terjadinya kasus gugat menggugat antara Pak Rudy dengan Pak Joko karena merasa membeli dengan cara yang benar terhadap tanah 10 Ha itu. Hal yang membuat kasus ini semakin rumit adalah Kepala Desa pada saat kasus ini terjadi di 2016 sudah ganti dan kepala desa terdahulu yang bernama Pak Agus dan Pak Hendro sudah meninggal dunia. Risiko seperti ini seringkali tidak terbayangkan oleh kita, apalagi kita memberinya sudah melalui prosedur hukum yang benar."


Jadi alasan mengapa saya lebih menyukai saham adalah karena pengembalian investasi yang tinggi dan likuiditasnya. Dari segala sudut aspek risk and reward, saham adalah instrumen investasi yang lebih baik dibandingkan seluruh instrumen investasi yang saya sebutkan di atas. Saham juga tidak memerlukan manajemen aktif dan tempat penyimpanan yang harus dipikirkan seperti apabila kita berinvestasi properti, emas, dan komoditas lainnya. Saya paham bahwa sebagian besar orang di Indonesia lebih suka properti karena mereka bisa melihat dan menyentuhnya secara fisik. Ada juga mereka yang percaya pada emas, mereka dikenal sebagai “safe haven”. Tidak ada yang salah dengan itu, tetapi sejarah kenyataannya telah menunjukkan bahwa saham memiliki pengembalian lebih tinggi dengan volatilitas yang lebih rendah dibandingkan instrumen investasi lainnya.


Itulah alasan di balik preferensi investasi saya yang seluruhnya saya tempatkan di saham. Saya menghargai apabila ada yang tidak setuju, karena setiap orang memiliki pendekatan investasi yang berbeda, dan itu adalah hal yang wajar dalam dunia investasi.

 

Thanks for reading...