Pada waktu awal abad ke-20 saat awal mula filosofi value investing diperkenalkan oleh Benjamin Graham akses terhadap informasi perusahaan tidak semudah saat ini dimana kita tinggal membuka PC/Laptop atau bahkan melalui smartphone asal ada internet semua beres. Investor zaman dulu harus menghadapi tantangan besar dalam memperoleh data keuangan perusahaan publik. Misalnya untuk mendapatkan laporan keuangan, investor harus berkirim surat formal ke sekretaris perusahaan dan harus menunggu untuk dibalas. Untuk annual report perusahaan juga sepengetahuan saya mencetaknya secara terbatas jadi tidak semua investor bisa mendapatkannya. Jika investornya termasuk kaya raya, maka bisa langsung terbang ke kantor pusat perusahaan untuk memintanya secara langsung.
Jadi untuk meminta data umum yang menjadi hak semua orang agar dapat dibaca saja perlu effort yang tidak sedikit, apalagi meminta data spesifik mengenai hal-hal yang tidak tertulis di laporan keuangan atau annual report. Oleh karena itu, menurut saya tidak mengherankan apabila Benjamin Graham gemar menggunakan metode valuasi menggunakan asumsi “apabila seandainya perusahaan di likuidasi, berapa yang tersisa untuk investor publik?” untuk menemukan saham-saham yang undervalued. Di bukunya baik itu Security Analysis atau The Intelligent Investor, Graham menyebut metodenya ini dengan NCAV (Net Current Asset Value) atau secara simpelnya Net-Net Value.
Net-Net Value
Graham menghitung nilai intrinsic minimum suatu perusahaan dengan formula:
Net-Net Value = Current Assets – Total Liabilities – Preferred Stock
Kemudian, nilai yang dihasilkan dibagi dengan jumlah saham beredar untuk mendapatkan nilai per lembar saham. Jika harga saham di pasar lebih rendah dari nilai ini, saham tersebut dianggap sebagai investasi yang menarik (undervalued).
Namun, tidak serta merta saham tersebut dibeli. Masih ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan yaitu:
- Margin Of Safety: Graham mencari saham yang diperdagangkan dengan harga 2/3 dari nilai Net-Net Value-nya, sehingga memberikan margin keamanan yang besar bagi investor apabila ternyata investor tersebut melakukan kesalahan dalam analisisnya sekaligus untuk memitigasi kondisi-kondisi masa depan yang tidak tentu yang tidak terbayangkan oleh investor saat membeli saham tersebut pertama kali.
- Conservative Approach: Metode ini sangat konservatif dengan hanya mempertimbangkan fakta dan reasoning yang tepat untuk menilai berapa “Current Assets” yang boleh dimasukkan dalam formulanya. Maksudnya investor hanya boleh mempertimbangkan aset-aset yang dapat dijadikan kas dalam jangka waktu pendek dan mengabaikan aset-aset yang sulit terjual bila likuidasi sekaligus mengabaikan potensi bisnis perusahaan.
Istilah “Net-Net” mencerminkan fokusnya pada aset perusahaan yang paling likuid, setelah dikurangi oleh semua kewajiban (liabilitas) perusahaan. Sadis sekali ya?
Terinspirasi dari pemikiran Graham tersebut serta kendala besar untuk menemukan saham yang masuk Net-Net ala Graham ini, maka saya agak memodifikasi sedikit metode dan cara pikir dalam valuasi ini oleh karena itu saya sebut saja sebagai “Liquidation Value”. Bagaimana tidak, dulu ketika saya coba menghitung semua saham di BEI dengan cara Net-Net Value, saya mendapati tidak ada satupun saham yang bisa dibeli! Mungkin karena alasan inilah murid-murid Graham seperti Walter Schloss pensiun dari dunia pengelolaan dana sebab sudah tidak dapat lagi menemukan perusahaan undervalued yang dapat dibelinya. Terutama dengan percepatan teknologi dan internet saat ini, maka dulunya investor yang rajin berburu data perusahaan jadi tidak memiliki keunggulan dibandingkan investor lainnya yang kurang rajin karena semua bisa diakses di internet secara digital.
Liquidation Value
Saya memodifikasi sedikit pada bagian “Current Assets”-nya dengan memasukkan aset-aset tidak lancar yang ada di neraca seperti aset tetap, investasi jangka panjang, aset keuangan jangka panjang, dll yang menurut pemahaman saya juga termasuk likuid.
Hal ini sejalan pengalaman saya sebagai lawyer dalam kasus kepailitan. Perusahaan yang pailit pasti asetnya akan ditangani oleh kurator, lalu selanjutnya akan diputuskan oleh kurator tersebut apakah aset tersebut akan dijual dengan cara lelang lalu hasilnya dibagikan kepada kreditor-kreditor perusahaan itu atau diatur menjadi going concern (melanjutkan bisnis perusahaan dengan persetujuan hakim pengawas dan kreditor pailit).
Berdasarkan alasan-alasan di atas maka “Current Assets” yang dimaksud Graham itu saya memodifikasinya menjadi “Adjusted Assets”. Untuk itu saya akan memasukkan dan membuang beberapa aset baik itu aset lancar atau aset tidak lancar yang saya rasa sulit untuk dijadikan kas. Selain itu saya akan melakukan penyesuaian nilai terhadap aset-aset yang saya rasa nilainya tidak sesuai dengan yang tercatat di neraca.
Misalnya, “Aset Tetap” ketika kita crosscheck di catatan laporan keuangan isinya beraneka ragam yang umumnya di perusahaan manufaktur berisi tanah, bangunan, mesin-mesin, dan kendaraan. Apabila di neraca tercatat aset tetap suatu perusahaan manufaktur bernilai 1 triliun rupiah, bisakah Anda percaya angka tersebut? Sepengelaman saya dalam melikuidasi/melelang aset perusahaan, umumnya nilainya akan turun jauh di bawah nilai pasar. Tanah dan bangunan dengan appraisal/nilai pasar 15 miliar rupiah, bisa saja laku hanya 10 miliar rupiah atau di bawah itu saat di lelang, mesin pabrik lebih sadis lagi penurunannya bisa mencapai 80%. Oleh karena itu saya akan menggunakan common sense dalam melihat jenis aset-aset tetap, apabila asetnya mayoritas berisi tanah dan bangunan di lokasi yang memang bernilai tinggi maka saya mungkin akan mengurangkan nilainya sebesar -60% hingga -75% dari yang tercatat, namun jika asetnya mayoritas hanya mesin-mesin pabrik dan kendaraan maka saya tidak akan segan-segan menilai -80% dari yang tercatat. Hati-hati juga dengan pos “persediaan”, Anda perlu mempertimbangkan apa jenis persediaan perusahaan tersebut?
Sedangkan untuk liabilitas, tetap dihitung 100% dari nilai yang tercatat di neraca.
Beberapa hal lain yang perlu dipertimbangkan investor:
- Kas dinilai 100% sesuai yang tercatat di neraca
- Tidak semua piutang bisa tertagih
- Tidak semua persediaan bisa terjual, selain itu persediaan seperti buah, susu, bahan makanan segar lebih cepat busuk dibandingkan hard commodity yang masih lebih bernilai, tapi hanya emas yang abadi dan boleh dihitung sesuai nilai tercatatnya
- Tidak semua investasi perusahaan ketika dijual sesuai dengan nilai tercatatnya di neraca terutama jika itu reksadana atau saham perusahaan publik. Hanya deposito jangka panjang dan obligasi negara saja yang boleh dinilai mendekati nilai yang tercatat di neraca.
- Lebih baik abaikan pos-pos seperti uang muka, aset hak guna, aset pajak, goodwill, aset tak berwujud, biaya dibayar dimuka, dll. Karena semua itu nilainya nol ketika di likuidasi.
- Silakan tambahkan sendiri apabila memang Anda memiliki circle of competence yang baik terhadap jenis aset yang Anda analisis. Circle of competence amat sangat membantu Anda dalam menaksir nilai yang tercatat di neraca.
Aplikasi Liquidation Value
Supaya lebih mudah maka saya akan menggunakan contoh menggunakan PT. Bukalapak, Tbk (BUKA) yang baru-baru ini memberikan informasi menghentikan kegiatan usaha marketplace-nya. Bukannya pailit, namun BUKA secara tidak langsung sudah menyatakan menyerah dalam persaingan bisnis marketplace melawan Tokopedia (GOTO), Blibli (BELI), Shopee, dll. Sehingga manajemen BUKA memutuskan untuk menutup marketplace-nya dan berfokus ke bisnis voucher digital. Saya sendiri tidak terlalu tertarik dengan bisnis BUKA ini sehingga apabila saya ingin membeli saham BUKA saat ini maka saya akan menghitungnya menggunakan liquidation value karena saya tidak memperhitungkan kualitas bisnisnya.
Pertama-tama perhatikan terlebih dahulu neraca bagian aset BUKA di bawah ini: (diambil dari LK terbaru BUKA Q3 2024)
Adjustment Assets: (dalam ribuan rupiah)
- Kas (100%) = 11.360.297.325
- Piutang Usaha (75%) = 97.075.038
- Piutang Lain-Lain (75%) = 213.853.984
- Aset Kontrak (75%) = 81.733.805
- Aset Tetap (10%) = 2.107.766
- Aset Keuangan Lancar (80%) =5.437.686.822
- Investasi Pada Asosiasi (40%) = 329.787.364
- Investasi Jangka Panjang (80%) = 4.134.535.500
Total Adjusted Assets = Rp. 21.657.077.604.000,-
Selanjutanya, perhatikan neraca bagian liabilitas BUKA di bawah ini:
Total Liabilities = Rp. 848.368.538.000,-
Liquidation Value = Total Adjusted Assets – Total Liabilities
= Rp. 20.808.709.066.000,-
Jumlah saham beredar = 103.062.019.354
Liquidation Value/Share = 20.808.709.066.000 / 103.062.019.354
= Rp. 202,-/share
Per artikel ini ditulis, BUKA dijual di harga Rp. 117,- / lembar saham. Apakah sudah bisa dibilang undervalued? Jangan lupakan Margin Of Safety, jika kita mengikuti Graham maka kita harus mengurangi 2/3 atau 66% dari nilai liquidation value itu yang artinya nilainya menjadi sekitar Rp. 69,- per lembar saham. Untuk Margin Of Safety ini juga bebas Anda mau menggunakan angka berapa tergantung keyakinan Anda terhadap bisnis BUKA. Jika Anda beranggapan bahwa bisnis BUKA ini di masa depan akan bertumbuh maka sah-sah saja jika Margin Of Safety-nya dikurangi.
Thanks for reading…