The Bubble Saga
1st phase, Bubble Blow
Ada sebuah perusahaan yang mengoperasikan beberapa hotel dan kasino mewah. Sebut saja namanya PT. Redwood Development, Tbk dengan kode saham REDD (bukan nama sebenarnya). Walaupun terlihat glamor namun perusahaan ini tidak pernah membukukan laba, bahkan ruginya konsisten selama bertahun-tahun. Harga sahamnya pada suatu ketika jatuh dari 300 rupiah menjadi 50 rupiah per lembar saham. Tentu saja harga itu menarik perhatian Stevie, boss perusahaan besar yang juga memiliki hobby bermain di kasino. Singkat cerita, setelah terjadi negosiasi yang ketat, PT. Redwood Development, Tbk sudah menjadi milik boss Stevie 100%. Tentu saja Stevie juga sudah memikirkan strategi promosi untuk menaikkan harga sahamnya.
Setelah berganti kepemilikan, REDD membeli sebuah pulau kecil bernama Bear Island di sebelah selatan Bull Island dan sekaligus membangun jembatan penghubung diantara kedua pulau itu. Tepat di ujung jembatan pada Bear Island, ada sebuah resort raksasa yang sudah mencapai tahap akhir pembangunan. Hotel utamanya dibangun sangat mewah membentuk kurva melengkung dengan arsitektur ala bangunan Suku Aztec, sesuai promosinya “Surga dunia di pulau terpencil”. Gerbang masuk ke hotelnya di kelilingi Air Mancur mewah yang menari-nari mengiringi lagu klasik. Akuarium mewah panjang berliku-liku berisi ikan-ikan eksotis air laut dibangun dari pintu masuk menuju lobby hotel hingga ke restoran dan kasino lengkap dengan hiasan-hiasan dasar laut membuat tamu yang datang merasa sedang berada di bangunan dasar laut. Pada bagian belakang hotel dibangun kolam renang raksasa dengan lebih dari 10 wahana air dan tepat di tengah-tengahnya ada taman mewah yang desainnya terinspirasi dari “The Hanging Garden” Babylonia. Di sebelah timur hotel disediakan juga lapangan golf yang sangat luas lengkap dengan seluruh fasilitas mewahnya. Semuanya itu dibangun sebagai distraksi bahwa sebenarnya Bear Island adalah pulau yang gersang penuh dengan bukit-bukit batu.
Daya tarik utama hotel itu adalah sebuah kasino megah bernama Coyote’s Casino, Kasino terbesar, termegah, dan termewah di dunia yang akan dibuka pada tanggal 10 Desember untuk menyambut peak season saat natal dan tahun baru. Casino itu didesain dengan atap kubah tembus cahaya berteknologi canggih agar tamu-tamu yang datang lupa waktu. Atap kubah itu dapat menciptakan efek sinar matahari sore yang lembut walaupun diluar sebenarnya sedang terik, dan pada malam hari dapat menampilkan berbagai macam rasi bintang yang indah. Pendingin udaranya juga dilengkapi dengan mekanisme yang rumit, dirancang untuk dapat menyebarkan aroma lavender yang kuat namun lembut dan merasuk kedalam jiwa setiap tamu agar para tamu merasa rileks sepanjang hari. Pergerakan waktu terasa begitu lambat di dalam kasino.
2nd phase, Bubble Grow
Berita promosi yang isinya proyeksi-proyeksi prospek pendapatan Hotel & Kasino itu memenuhi seluruh surat kabar dan media sosial. Divisi Public Relations juga gencar mengumumkan dalam keterbukaan informasi bahwa walaupun hotel belum beroperasi, namun okupansi rate hingga pertengahan tahun depan sudah dijamin 100% full book, sudah banyak waiting list pasangan-pasangan kaya raya yang mendaftar untuk melangsungkan pernikahan mewah di restorannya. Pada Grand Openingnya, mereka mengundang presiden dan para menteri sekaligus artis-artis papan atas. Mereka juga mengumumkan perubahan nama Hotel & Casino itu menjadi Redwood International Casino & Hotel dan mengubah kode sahamnya dari REDD menjadi RICH. Seluruh analis-analis dan pakar saham mengeluarkan rekomendasi BUY terhadap saham RICH. Harga sahamnya yang semula 50 rupiah langsung melejit menjadi 250 rupiah.
3rd phase, Bubble POP!
Divisi Investor Relations RICH dengan rajin memberikan update kinerja RICH setiap kuartal, tentu saja dengan angka-angka yang terlihat besar dan optimis. Namun, tidak banyak yang tahu apabila dalam laporan keuangan RICH banyak dilakukan Financial Shenanigans (tipuan-tipuan untuk mempercantik laporan keuangan). Harga sahamnya meningkat menjadi 1000 rupiah dalam waktu kurang dari 1 tahun setelah opening.
Tidak ada yang tahu, dana untuk megaproyek itu darimana asalnya. Namun, ada isu yang mengatakan sumber dananya berasal dari pencucian uang hasil narkoba ditambah dengan utang maha besar ke bank. Dalam laporan keuangannya, utang itu tampak kecil dibandingkan jumlah asset dan revenuenya. Tentu saja karena tipuan dengan memvaluasi assetnya kelewat mahal dan overstated revenue dengan cara memalsukan transaksi di Casino maupun Restorannya. Kenyataannya RICH tidak benar-benar untung besar seperti yang diberitakan.
Semakin berjalannya waktu, RICH mengalami kesulitan dalam membayar utangnya. Akhirnya manajemen RICH berencana melakukan Right Issue untuk menyelesaikan masalah keuangannya. Publik mulai curiga kenapa perusahaan dengan profit besar harus sampai right issue untuk mendapatkan dana segar. Akhirnya dalam RUPSLB komisaris independen RICH menyatakan tidak setuju dengan laporan keuangan RICH dan meminta dilakukan audit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP). Kepercayaan publik pada RICH perlahan-lahan mulai sirna, harga saham RICH jatuh menuju ke 50 rupiah per lembar saham.
Renungan
Sebagai investor saham bayangkan ada sebuah saham seperti RICH yang sedang heboh di media sosial, menyebabkan FOMO (takut ketinggalan) yang parah. Semua orang, semua media berita sedang memperbincangkannya dan orang-orang di pasar saham berbondong-bondong membeli sahamnya. Kolom Offer selalu kehabisan barang karena saking banyaknya yang mau membeli sahamnya. Harga sahamnya sudah naik lebih dari 500% dari posisi terendahnya dan menurut perkiraan para pakar saham, harga tersebut masih murah dibandingkan dengan prospek kedepannya. Kamu sebagai seorang investor saham menilai bahwa harga tersebut sudah terlalu mahal dibandingkan dengan fundamental perusahaannya. Tapi harganya naik terus seolah "sky is the only limit". Apakah Kamu akan melewatkannya, menunggu harganya turun, atau dengan tergesa-gesa menekan tombol BUY daripada diam memandangi harganya yang semakin naik? Apabila iya maka kamu masuk ke dalam siklus Greater Fool Theory seperti kata Professor Burton Malkiel.
Sejarah singkat Professor Burton Malkiel
Burton Gordon Malkiel (lahir 28 Agustus 1932) atau dikenal sebagai Professor Burton Malkiel adalah seorang ekonom, direktur Vanguard Group, dan penulis buku yang terkenal dari Amerika Serikat. Salah satu karyanya A Random Walk Down Wall Street masih sangat layak dibaca hingga saat ini.
Pada tahun 1949, Malkiel lulus dari Boston Latin School dan melanjutkan kuliah Bachelor’s Degree dan Master-nya di Harvard University, lalu melanjutkan Doctoral Degree di University of Princeton. Ia mendapatkan gelar Ph.D. pada tahun 1964 dengan judul disertasi “Problems in the Structure of Financial Markets.”.
Professor Burton Malkiel adalah pendukung utama Teori Pasar Efisien (Efficient Market Hypothesis) atau biasanya disebut EMH, yang berpendapat bahwa harga saham pada waktu tertentu sudah mencerminkan semua informasi yang tersedia pada waktu itu, sehingga tidak memungkinkan bagi investor untuk mengalahkan pasar secara konsisten. Meskipun dia juga menunjukkan bahwa beberapa pasar terbukti tidak efisien. Oleh karena itu gaya investasi Malkiel adalah membeli Index Funds yang dianggapnya sebagai strategi manajemen portofolio yang paling efektif. Namun karena Ia juga mengetahui bahwa pasar saham tidak sepenuhnya efisien, maka ia juga tidak menentang investasi pada saham secara langsung asalkan sebagian besar portofolio seorang investor ada pada Index Funds.
Apa itu “The Greater Fool Theory”?
The Greater Fool Theory pertama kali dibahas oleh Professor Burton Malkiel, dimana Ia mengatakan bahwa sebagai seorang investor, Anda dapat membeli saham atau aset investasi lainnya yang sudah terlalu mahal dan tetap menghasilkan uang darinya. Ini bermula dari pengamatannya terhadap cognitive bias pada perilaku manusia, orang pada umumnya tertarik pada aset yang harganya naik atau sedang naik. Malkiel mengatakan bahwa aset yang harganya sedang naik tersebut dapat semakin naik tidak masuk akal karena efek “Herd Mentality”, dimana cerita kesuksesan oleh sekelompok orang dapat memacu orang lain agar mengejar kesuksesan yang serupa. Singkatnya, The Greater Fool Theory menjelaskan adanya orang bodoh yang membeli aset yang sudah mahal, untuk kemudian mengharapkan orang yang lebih bodoh mau membeli aset tersebut dengan harga yang lebih mahal lagi. Siklus ini akan berakhir dengan orang super bodoh terakhir yang membeli aset pada harga pucuk dan sudah tidak ada lagi orang ultra bodoh berikutnya. Hasil akhirnya sudah bisa ditebak apabila populasi orang bodoh yang mau membeli aset mahal itu habis tentu saja harga aset tersebut akan jatuh.