Di bagian ini kita hanya membahas portfolio investasi saham saja ya, untuk aset-aset di luar saham seperti rumah, apartemen, obligasi, emas tidak kita bahas, karena Arvest sendiri memiliki prinsip untuk berinvestasi pada saham seutuhnya. Kami hingga saat ini tidak memiliki investasi di produk lain selain saham dan reksadana pasar uang (rdpu ini untuk uang parkir saja sebelum dimasukkan ke saham).
Ketika kita misalkan memiliki uang sebesar 100 juta rupiah dan ingin kita investasikan di saham, kira-kira bagaimana teman-teman akan membelikan 100 juta itu ? Apakah All In di 1 saham saja ? Atau dibagi ke beberapa saham dengan persentase yang sama ?
Sebelum langsung berfikir teknis ke arah sana, sebaiknya kita perlu berfikir prinsip-prinsip pentingnya terlebih dahulu. Ibarat kita menyusun sebuah tim sepak bola, setiap pelatih tentu mempunyai kriteria dan formasi sendiri-sendiri. Mungkin ada pelatih yang agresif dan suka dengan sepak bola menyerang, tentu formasi dan komposisi portfolionya akan cenderung agresif, berbeda dengan pelatih yang mementingkan kemenangan, dia tidak perduli jika harus dihina karena menggunakan taktik parkir bus ketika dibutuhkan.
Filosofi yang Arvest anut untuk menyusun portfolio saham adalah dengan berfokus pada perusahaan-perusahaan yang memiliki kinerja yang bertumbuh secara jangka panjang. Namun filosofi ini juga harus mempunyai prinsip-prinsip di dalamnya, dan kami juga menggunakan prinsip-prinsip yang dianut oleh para legend investor, berikut poin-poin pentingnya :
- Hanya memilih saham-saham “beresiko” rendah
Menurut kaum akademis dan pelaku pasar pada umumnya, risiko dipandang sebagai penurunan nilai portfolio akibat penurunan harga saham. Misalkan seseorang membeli saham BUKA seharga 300 rupiah, kemudian mereka menganggap sudah membatasi resiko dengan memasang stop loss di harga 270 rupiah (-10% SL).
Resiko yang dianut oleh para value investor bukanlah seperti ini, melainkan resiko terhadap perusahaan yang dibeli itu sendiri yang dapat berdampak pada keuntungan jangka panjang.
Sebagai contoh, misalkan kita berbicara sektor perbankan, bank BCA bisa dibilang sebagai bank dengan tingkat resiko terendah jika kita lihat dari aspek CASA (Current Account Saving Account / Dana Murah), dari 100% total Dana Pihak Ketiga BCA, porsi CASA BCA di tahun 2023 mencapai 80%. Artinya, nasabah-nasabah BCA menempatkan uangnya dengan bunga yang sangat amat rendah (tidak sampai 1%) per tahun, sehingga jika saja BCA bisa melempar kredit dengan rate 4% ke atas , sudah memberikan keuntungan 300%.
Berbeda dengan Neobank (BBYB), persentase CASA BBYB di tahun 2023 hanya 28,7% yang artinya sekitar 71,3% nasabah BBYB menempatkan uangnya di produk yang memberikan bunga tinggi (5%-8%) per tahun, jika BBYB ingin mendapatkan keuntungan maka BBYB harus melempar kredit dengan rate yang lebih tinggi dari 5% -8%, jika tidak mampu maka BBYB akan mencetak kerugian.
Selain itu, jika BBYB suatu saat menurunkan suku bunga nya yang biasanya di 5% itu menjadi katakan hanya 2% atau 3% saja, belum tentu nasabah-nasabah BBYB masih akan loyal karena mereka terbiasa penempatan karena diberikan bunga tinggi.
Itu adalah salah 1 contoh sederhana dari resiko yang sangat diperhitungkan dalam memilih saham. Mengapa resiko ini lebih penting daripada membahas “potensi keuntungan” terlebih dahulu ? Warren Buffet pernah berkata golden rule dalam investasi ada 2, yang pertama adalah “don’t lose money”, yang ke 2 adalah “Never forget rule no 1”.
Jika portfolio saham anda sudah diisi saham-saham dengan resiko yang rendah, anda bisa tidur nyenyak sambil melihat perusahaan itu terus bertumbuh dalam jangka waktu panjang. Kenaikan atau penurunan harga saham (volatilitas) tidak dianggap sebagai resiko, bahkan bisa dijadikan peluang untuk membeli saham-saham yang kita anggap bagus namun tidak di-respect oleh market.
- Diversifikasi hanyalah dilakukan oleh orang bodoh ?
Mungkin anda pernah mendengar entah dari podcast atau dari website saham yang menyatakan bahwa diversifikasi adalah hal yang dilakukan oleh orang yang tidak mengerti apa yang dia beli. Istilah kasarnya, hanya orang bodoh yang melakukan diversifikasi.
Hal ini masih menjadi perdebatan hingga saat ini, antara penganut aliran ALL IN single stock alias orang yang menginvestasikan semua portfolionya di 1 saham saja, dan aliran portfolio yang terbagi-bagi ke berbagai saham (diversified portfolio).
Siapa yang benar ? Kami berpendapat , 2 2 nya bisa saja benar. Namun… ada 1 hal yang pasti salah jika anda lakukan, yaitu jika anda mengatakan ingin melakukan diversifikasi namun yang anda lakukan adalah membentuk supermarket portfolio di mana portfolio anda berisi mungkin ratusan saham yang bahkan anda sendiri sangat susah untuk menganalisanya 1 per 1 karena terlalu banyaknya saham yang dipegang.
Mengapa aliran single stock tidak bisa dikatakan sepenuhnya salah ?
Bayangkan jika anda seorang pebisnis, let say anda memulai bisnis membuka toko cat. Semua uang tabungan anda, diinvestasikan ke toko cat anda. Tentu anda setiap hari setiap jam setiap menit, semua energi dan pemikiran anda akan dicurahkan ke toko cat anda bukan ?
Anda akan terus berusaha mengembangkan toko cat anda, menganalisa segala resiko-resiko yang mungkin dihadapi, melihat dengan jeli persaingan di sekitar anda, mencari supplier-supplier terbaik dst, sehingga tiap inchi hal detail yang ada pada toko tersebut sudah betul-betul anda kuasai.
Sekarang bayangkan skenario ke 2, anda memiliki sejumlah uang, kemudian anda membuka toko cat , namun di samping itu, anda juga membuka bisnis-bisnis yang lain dengan teman-teman anda. Secara probabilitas, kemungkinan toko cat anda berhasil akan jauh lebih besar jika anda hanya berfokus pada 1 bisnis saja tanpa melakukan diversifikasi. Namun , di sisi lain, jika skenario 1 dijalankan dan toko cat anda gagal, maka anda akan bangkrut, berbeda dengan skenario ke 2 jika toko anda gagal, dan ternyata bisnis anda dengan teman-teman anda berhasil, anda masih survive.
Jadi lebih baik yang mana donk ?
Pada tahun 2021 pandemi kemarin, ada salah seorang kenalan yang melakukan investasi single stock di saham NVIDIA dan sekarang dia tertawa lebar melihat kenaikan signifikan sahamnya. Sedangkan di 2024 ini, ada seorang yang dianggap guru dalam investasi saham dan menginvestasikan seluruh uangnya di saham BTPS dan portfolionya tergerus banyak.
Bagi Arvest, diversifikasi lebih merupakan upaya untuk memitigasi peristiwa-peristiwa yang tidak dapat diketahui di masa depan dan bentuk kerendahan hati seorang investor bahwa tesis investasinya bisa saja salah. Portofolio Arvest Capital saat ini (2024) memegang 9 jenis saham dengan bobot terbesar yang ditempatkan pada 1 saham adalah 25% dan terkecil 5%. Tentunya tidak ada angka pasti disini terhadap berapa banyak saham yang dipegang. Tapi prinsipnya seperti yang dikatakan Peter Lynch “Owning stocks is like having children – don’t get involved with more than you can handle.”
Kami juga berpendapat, bahwa pada akhirnya setiap investor pasti akan melakukan diversifikasi, entah karena dananya sudah terlalu besar ataupun mitigasi resiko. Warren Buffet dengan Berkshire Hathaway di tahun 2024 memiliki lebih dari 40 saham yang dipegang. Begitu pula dengan pak Lo Kheng Hong yang dikenal sebagai Warren Buffett Indonesia juga memiliki lebih dari 1 saham.
- Saham Terbaik Di Setiap Sektornya
Arvest sendiri juga melakukan diversifikasi dengan hanya membeli saham “terbaik” di setiap sektor dan subsektornya (untuk penjelasan detail sektornya bisa lihat video ini strategi mengelola portfolio dan review kinerja Q1 2024
Mengapa setiap sektor dan subsektor kita hanya memilih 1 saham ? Pada umumnya, performa saham di satu sektor yang sama yang memiliki karakter emiten senada, biasanya tidak jauh berbeda antara 1 dengan yang lain (misalkan perbankan ada BBCA , BBRI , BBNI, BMRI). Arvest sendiri juga memiliki klasifikasi sektor dan subsektor yang cukup banyak, sehingga pilihan saham yang bisa kita beli cukup banyak. Oleh karena itu, kita lebih berfokus untuk memilih yang benar-benar kita anggap best stock in industry.
Walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa bisa saja dalam 1 sektor dan subsektor yang sama, karakter emitennya berbeda (walaupun ini sangat jarang). Seperti yang ditunjukkan dalam video, contohnya sektor Finance dengan subsektor Bank, emiten ADMF memiliki karakter yang berbeda karena ADMF sendiri adalah bank
Hybrid, karena memiliki porsi ADMF yang sangat besar di dalamnya.
Pada akhirnya ada 3 elemen yang saling berkaitan erat yaitu diversifikasi, jangka waktu dan risiko yang harus di akomodir dalam suatu konstruksi portofolio saham. Tidak ada resep yang pasti untuk diikuti saat membuat dan mengelola portofolio Anda pribadi. Anggap saja Anda sedang meracik resep masakan yang sesuai dengan selera Anda dengan tetap mempertimbangkan ketiga elemen pokok di atas.
Selamat Meracik !!