Sebelum masuk ke topik yang lebih serius saya ucapkan “Selamat tahun baru 2025 teman-teman, semoga di tahun 2025 ini kita semua semakin sukses dalam segala hal”.


Bagi teman-teman yang belum memulai berinvestasi karena berbagai macam alasan, yang saya tahu ada beberapa pembaca blog ini saya kenal langsung, paling umum sih alasannya ada 2:

1.      “Masih banyak kebutuhan”

2.     “Cuma punya uang sedikit buat apa diinvestasikan toh hasilnya tidak akan signifikan.”


Cepatlah bertobat! Hahaha…. Ok lah yang mengatakan masih banyak kebutuhan saya tidak bisa berkomentar banyak, tapi kalau ada “living expenses” yang dirasa tidak perlu sebisa mungkin dikurangi sehingga lebih dapat menyisihkan uang untuk ditabung atau bahkan diinvestasikan. Kalau dulu seminggu 2 kali makan mahal, mungkin bisa dikurangi menjadi 1 bulan sekali, karena kalau saya pribadi paling banyak pengeluaran dan juga yang paling mudah di hemat adalah biaya untuk makan & minum.


Tapi untuk alasan yang kedua, mulailah berinvestasi sekarang juga jika Anda memiliki idle money. Alasanmu tidak valid, kalau Kamu tidak mencoba berinvestasi dengan uang kecil, mana mungkin bisa mengelola investasi dengan uang besar? Rasakan dulu keganasan pasar saham dengan uang kecil, cobalah meng-compounding-kan uang itu sampai besar! Ada learning curve yang harus Anda alami di pasar saham untuk dapat menjaga investasi Anda selama bertahun-tahun tetap stabil dan compounding terus di saham. Ingat “waktu” lebih berharga dari “uang”, karena “waktu” adalah ingredients utama dalam compounding selain nominal “uang” itu sendiri. Jadi jika Anda memulai berinvestasi saat usia sudah senja, hasilnya kemungkinan besar tidak maksimal. Apakah kamu tahu mengapa Dracula itu selalu digambarkan kaya raya tinggal di kastil mewah? Karena usianya 500 tahun lebih! Lebih baik mati saja daripada hidup miskin 500 tahun!


Tunggu apa lagi? Pasar saham sedang memberikan kita kesempatan saat ini!


Sekarang kita masuk pada pembahasan utama artikel ini yaitu tentang cash...

 

Kontroversi Uang Tunai / Cash

Asumsi yang digunakan disini adalah jika “living expenses” kita semua sudah terpenuhi dan memang memiliki cash buffer yang terkumpul di rekening bank kita dan tidak tahu digunakan untuk apa! (biasanya sih masuk deposito atau obligasi, keduanya saya anggap sebagai cash buffer yang siap ditembakkan ke saham saat pasar anjlok)


Saya sudah banyak kali berdebat dan berdiskusi dengan teman-teman sesama investor baik itu investor individu maupun manajer investasi dari perusahaan investasi ternama. Topiknya simpel tapi tidak ada jawaban yang pasti yaitu:


“JIKA ADA IDLE CASH APAKAH SEBAIKNYA SELURUHNYA DIINVESTASIKAN ATAU DISISIHKAN SEBAGAI CASH BUFFER UNTUK KONDISI SEPERTI MARKET CRASH & PASAR BEARISH?”


Tidak ada jawaban yang memuaskan, beberapa investor memilih untuk secara disiplin menahan sebagian cash sebagai buffer dengan harapan dapat memanfaatkan peluang investasi yang lebih baik di masa depan. Namun, banyak juga investor yang percaya bahwa seharusnya idle cash ini "tidak berguna” jadi lebih baik diinvestasikan saja. Untuk pendapat yang terakhir ini, alasannya biasanya ada 2:

1.      Uang tunai hampir tidak menghasilkan apa-apa.

2.     Sebaiknya seluruh uang itu “bekerja”, jangan ada yang idle.


Ada sebuah perasaan “keharusan” yang disebabkan oleh 2 alasan di atas dan keinginan untuk mengungguli pasar secara keseluruhan, secara alami akan menyebabkan investor enggan untuk memegang cash dalam jumlah besar. Saya coba cari informasi terkait hal ini dan menemukan dari Morningstar bahwa rata-rata 200 fund Large Cap Growth di US mengalokasikan cash saat ini hanya sekitar 1,5%. Sayangnya, di Indonesia saya tidak mendapatkan informasinya secara luas.


Kontroversi apakah idle cash ini sebaiknya diinvestasikan atau dibiarkan likuid memang berkisar dari fakta “idle cash tidak menghasilkan apa-apa” dan jika dibiarkan di rekening bank, akan terpotong biaya admin bank. Selain itu cash bukanlah aset yang dapat mempertahankan, apalagi meningkatkan daya beli kita dalam jangka panjang, malahan akan tergerus nilainya dalam jangka panjang. Saya dapat sangat memahami alasan ini. Namun, Saya memiliki pandangan tersendiri yang akan saya share tentang peran dan pentingnya cash dan percaya bahwa penggunaan cash secara disiplin dapat memberikan manfaat besar bagi investor.

 

The Value Of Cash

Saya memiliki pendapat bahwa nilai dari cash hampir tidak ada hubungannya dengan hasil yang diperoleh langsung dari cash itu sendiri. Sebaliknya, value dari cash ini ada pada kekuatannya dalam pasar bearish atau crash dimana cash adalah “garis tipis” yang memisahkan antara krisis dengan peluang.


Benjamin Graham dalam bukunya yang berjudul The Intelligent Investor memisahkan alokasi investor tersebut berdasarkan profil risikonya, risk tolerance, stabilitas emosi dan kebutuhan masing-masing investor. Ia membaginya menjadi 3 tingkat:

-        Investor Defensif (75% obligasi, 25% saham)

-        Investor Moderat (50% obligasi, 50% saham)

-        Investor Agresif (25% obligasi, 75% saham)


Ide awal Graham sebenarnya untuk diversifikasi risiko karena pada masa buku itu di tulis tahun 1949, pasar saham sangat volatile (Great Depression dan Perang Dunia II). Ide tersebut memberikan kesempatan dan fleksibilitas membeli saham pada saat pasar saham sedang turun dengan menjual obligasi dan membeli saham yang sedang undervalued. Namun, ide ini menurut saya juga bertumpu pada kepercayaan umum bahwa pasar saham berkorelasi terbalik dengan pasar obligasi, dimana jika pasar saham sedang naik maka pasar obligasi turun dan sebaliknya. Yes, it work best jika memang demikian yang terjadi. Tapi sayangnya hal tersebut tidak 100% benar! Jadi Anda bisa memodifikasinya dengan menaruh cash buffer itu di deposito atau money market yang jauh lebih stabil daripada obligasi.


Saya menemukan pandangan terkait hal ini yang lebih kekinian yaitu dari Morgan Housel dalam bukunya yang berjudul The Psychology Of Money:


“No one wants to hold cash during a bull market. They want to own assets that go up a lot. You look and feel conservative holding cash during a bull market, because you become acutely aware of how much return you’re giving up by not owning the good stuff.


But if that cash prevents you from having to sell your stocks during a bear market, the actual return you earned on that cash is not 1% a year-it could be many multiples of that, because preventing one desperate, Ill-timed stock sale can do more for your lifetime returns than picking dozens of big-time winners.”


TERJEMAHAN:

“Tidak ada yang ingin memegang uang tunai selama pasar bullish. Mereka ingin memiliki aset yang nilainya meningkat pesat. Memegang uang tunai selama pasar bullish membuat Anda terlihat dan merasa konservatif, karena Anda sadar betul akan seberapa banyak hasil yang Anda lewatkan dengan tidak memiliki aset yang bagus.


Tetapi jika uang tunai itu mencegah Anda harus menjual saham selama pasar bearish, hasil sebenarnya yang Anda peroleh dari uang tunai tersebut bukanlah 1% per tahun-tetapi bisa berkali-kali lipat dari itu, karena uang tunai dapat mencegah satu penjualan saham yang terburu-buru dan di waktu yang tidak tepat akan dapat lebih meningkatkan hasil jangka panjang Anda dibandingkan memilih puluhan saham pemenang besar.”


So, the value of cash sejatinya bukan dari hasil yang diberikannya, melainkan lebih pada kekuatannya terutama dalam menjaga perilaku investor. Karena keberhasilan investasi jangka panjang lebih berkaitan dengan perilaku daripada faktor lainnya dan saya percaya bahwa investor yang bersedia memegang atau mengumpulkan uang tunai ketika valuasi pasar sedang tinggi cenderung bertindak lebih baik selama masa sulit ketika peluang makin banyak bermunculan. Dengan memiliki “perilaku lebih baik” saya maksudkan menjual lebih sedikit dan/atau membeli lebih banyak.


Opportunity Cost Jika Terlalu Banyak Menahan Cash

Imbal hasil rendah cash seringkali dijadikan alasan untuk opportunity cost. Dengan kata lain, cash sering keliru digunakan untuk menentukan opportunity cost. Sebagai contoh, anggaplah seorang investor menargetkan hasil tahunan sebesar 15% pada investasi saham tetapi memiliki cash “berlebih”. Investasi saham terbaik yang tersedia saat ini menawarkan return sebesar 10%. Apa yang harus dilakukan?


Banyak investor melihat ini sebagai pilihan antara mendapatkan 10% dari investasi saham atau 0% dengan mempertahankan cash. Namun, jika dilihat sebagai pilihan antara mendapatkan 0% dan 10%, ini sebenarnya bias karena bukan pilihan sama sekali! Namun investor pasti akan memilih 10%! Memang, hasil yang diharapkan lebih rendah dari target 15% tadi. Namun demikian, 10% tetap lebih baik jauh daripada 0% kan?


Oleh karena itu, disiplin valuasi menjadi diabaikan, semua demi meminimalkan cash.


Saya melihatnya secara berbeda, bukan sebagai pilihan antara 0% dan 10%, melainkan antara 0% dan -20%. Dari mana -20% ini berasal? Dalam jangka waktu investasi misalnya 5 tahun, perbedaan antara mendapatkan hasil tahunan sebesar 10% dan 15% (dengan asumsi semua faktor lainnya tetap sama) maka membutuhkan penurunan harga saham sebesar -20%.


Contoh ini menggambarkan pentingnya mempertahankan disiplin valuasi. Menginvestasikan cash secara tergesa-gesa seringkali menghasilkan pengorbanan terhadap return investasi jangka panjang.

 

Kesimpulan

Saya lebih memilih untuk menginvestasikan cash secara oportunis, bukan secara rutin, dan melakukannya sesuai dengan disiplin valuasi dalam analisis saham saya, bukan secara sembarangan untuk meminimalkan cash. Singkatnya, saya tidak melihat level cash untuk menentukan apakah akan membeli saham, tapi saya melihat valuasi dan harga saham incaran saya apakah sudah saatnya untuk menginvestasikan cash. Jadi apabila memang saat ini memang saat yang tepat untuk menginvestasikan seluruh cash yang saya miliki, maka let it be!


Thanks for reading...