PASIF INCOME FOR FINANCIAL FREEDOM !


Siapa yang ga mau punya rekening bank yang terus bertambah secara otomatis tanpa kita harus bekerja ? Ya kondisi itu hanya bisa terjadi kalau kita sudah memiliki pasif income di mana uang yang kita investasikan akan menggenerate cashflow ke rekening kita. Pada artikel kali ini saya akan mengulik tentang pasif income, di mana kita semua tentu ingin memiliki pasif income yang melebihi pengeluaran kita sehingga bisa dikatakan kondisinya sebagai “Financial Freedom” (Pasif Income > Pengeluaran).


Tentu, kondisi finansial freedom ini hanya bisa tercapai jika kita membesarkan aset-aset yang menghasilkan pasif income sedini mungkin (sayangnya di Indonesia jarang sekali orang yang memikirkan tentang hal ini, makanya di usia pensiun pun mereka terpaksa harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya).


Pertama, saya akan membahas terlebih dahulu jenis-jenis aset apa saja yang bisa menghasilkan pasif income.

1.      Rumah Kos

Saya mempunyai seorang teman yang bekerja sebagai self employee (definisi ini bisa dilihat di artikel ini ya), dan setiap pundi-pundi kekayaan yang dikumpulkannya selalu ia belikan rumah kos di Bali (rumah kos ya bukan rumah untuk dikontrakkan !). Ia bercerita memiliki beberapa rumah kos di mana ia memilih lokasi yang dekat dengan kampus supaya tingkat okupansinya lebih stabil dan tidak hanya mengandalkan turis. Ia membeli salah satu rumah kos tersebut sekitar 3,5M dan merenovasinya sehingga total modal awalnya 4M di mana rumah kosnya memiliki 20 kamar dengan tarif kos bulanan 1,5jt per bulan-nya. Ketika okupansinya penuh, ia akan mendapatkan penghasilan kurang lebih 30jt setiap bulannya (360 juta per tahun). Dari cerita teman saya, berarti yield yang didapatkannya sekitar 9% per tahun.

 

Keunggulan berinvestasi di rumah kos ini adalah dari segi propertinya sendiri yang mungkin mengalami kenaikan, jadi sembari mendapatkan pasif income uang kos bulanan, kita juga bisa menikmati kenaikan harga propertinya. Namun investasi ini juga memiliki beberapa kekurangan, seperti modal yang dibutuhkan akan sangat besar (untuk beli rumah kosnya), tingkat okupansi yang belum tentu 100% full , dibutuhkan penjaga kos yang biasanya disebut mami kos untuk menjaga rumah kosnya, selain itu juga timbul biaya maintenance rumah kosnya sendiri.

 

Jadi investasi di rumah kos ini cocok untuk orang-orang yang sudah memiliki modal besar dan tipenya sangat konservatif.

 

2.      Obligasi

Produk investasi berikutnya yang menghasilkan pasif income adalah obligasi (surat hutang). Untuk obligasi sendiri dibagi menjadi 2 jenis, yang pertama obligasi pemerintah dan yang kedua obligasi swasta. Obligasi pemerintah (contohnya SR Sukuk Retail) biasanya memberikan kupon hingga 6.45% sedangkan obligasi swasta bisa memberikan kupon hingga 10% ke atas. Lho enak donk kalau begitu beli obligasi swasta ? Nah jangan lupa memperhitungkan tingkat resikonya, karena obligasi ini adalah salah satu produk investasi yang biasanya TIDAK ADA JAMINANNYA, jadi jika terjadi gagal bayar bisa mengakibatkan capital loss (modalnya hilang pak !). Investasi di obligasi sendiri juga terkena pajak sebesar 10% dari kupon yang diterima. Kalau saya compare dengan modal yang sama 4M seperti Rumah Kos, maka return obligasi yang memberikan kupon 10% adalah 360 juta per tahun atau 30 juta per bulan nett (sama dengan rumah kos).

 

Keunggulan investasi obligasi ini bisa dengan dana yang relatif kecil (1 juta untuk obligasi pemerintah) dan tidak ada biaya maintenance atau biaya admin tahunan. Kelemahan dari obligasi sendiri terletak pada kupon yang relatif rendah (untuk obligasi pemerintah) sedangkan untuk obligasi swasta kekurangannya adalah resikonya yang tinggi (jika sampai terjadi gagal bayar).

 

Pemain obligasi ini kebanyakan pengusaha-pengusaha yang sudah settle dan cenderung konservatif. Dengan dana jumbo yang mereka miliki, return 6-9% setahun sudah menarik bagi mereka karena yang mereka utamakan adalah keamanan modal. Berbeda dengan retail-retail di saham ya yang biasanya mengejar return kalau bisa 50% per tahun, beli saham-saham gorengan eh ujung-ujungnya malah kegoreng sendiri sampai hangus !

 

3.      P2P Lending

Ini adalah jenis investasi yang menurut saya pribadi jangan disentuh ya dek ya, jangan…

Di China sendiri, banyak P2P lending yang berguguran akibat gagal bayar para debiturnya, kemudian sistem P2P Lending mulai masuk ke negara-negara berkembang dan salah satunya Indonesia sendiri. Mengapa saya pribadi bilang jangan masuk ke P2P Lending ? Karena proses due dilligence untuk P2P Lending sendiri sangatlah susah dan tidak komprehensif (bahasa kasarnya gampang dibohongi debitur). Kalau teman-teman search di mbah Google, sudah banyak P2P Lending di Indonesia yang terkena kasus gagal bayar sehingga merugikan para investornya.

 

P2P sendiri memberikan bunga yang sangat tinggi (biasa bergantung pada Grade dari debiturnya), semakin beresiko debitur maka makin tinggi bunga yang ditawarkan (bisa mencapai 13-15% per tahun). Secara perpajakan, bunga dari P2P Lending sendiri akan dipotong pajak sebesar 15%. Bayangkan, kalau investasi 4M bisa dapat bunga 510 juta / tahun NETT. Tapi resikonya jika terjadi gagal bayar ya uangnya menguap, apakah bisa diclaim ke platform P2Pnya ? Wallahualam. Ada beberapa platform yang memberikan “Asuransi” untuk setiap peminjamannya sehingga jika terjadi gagal bayar maka dana investor bisa kembali sampai 70%, tentunya investor juga harus membayar premi jika ingin mengasuransikan investasinya.

 

Keunggulan dari P2P Lending sendiri bunganya yang sangat tinggi dan bisa investasi dengan jumlah yang sedikit (terkadang bisa mulai 100.000 rupiah sudah bisa menjadi investor P2P). Namun sekali lagi, resiko dari investasi P2P Lending sangatlah besar, anda bahkan mungkin tidak bisa mengontak debitur atau hanya mengandalkan dari platform yang menagihkan jika ada debitur yang sampai gagal bayar. Ingat, aturan utama investasi dari Warren Buffet adalah NEVER LOSE MONEY.

 

4.      Reksadana

Sebenarnya saya sendiri agak enggan menulis reksadana sebagai instrumen pasif income, kenapa ? Dalam reksadana sendiri terdapat jenis reksadana pendapatan tetap yang isinya adalah obligasi-obligasi yang dipilih oleh Manajer Investasi. Kalau saya pribadi, lebih baik saya beli obligasinya langsung daripada beli reksadana pendapatan tetap, karena saya harus membayar management fee tahunan jika saya beli obligasi melalui reksadana pendapatan tetap.

 

Saya pribadi hanya menggunakan 1 jenis reksadana yaitu reksadana pasar uang, sebagai dana idle dan dana darurat jika sewaktu-waktu saya perlukan. Reksadana pasar uang sangat membantu saya karena sistemnya yang likuid dan memiliki imbal hasil yang setara dengan deposito pada umumnya (daripada taruh deposito kena lock better taruh di reksadana pasar uang bisa ditarik sewaktu-waktu). Selebihnya tidak ada reksadana lain yang saya beli.

 

Oleh karena itu pembahasan untuk reksadana sebagai sumber pasif income saya skip ya !

 

5.      Saham berdeviden

Nahh menurut saya pribadi cara paling efektif untuk membesarkan pasif income adalah dengan berinvestasi pada saham berdeviden. Di sini saya menyebutnya saham berdeviden, bukan deviden stock (lho bedanya apa sih ?). Konotasi orang-orang untuk deviden stock adalah saham-saham yang memberikan deviden tinggi (contohnya seperti POWR, BJTM, MPMX, dll). Saya pribadi tidak memilih saham-saham seperti ini jika ingin membesarkan pasif income, kenapa ?

 

Saham-saham high deviden yield seperti contoh di atas kebanyakan memiliki ruang growth yang terbatas, sehingga deviden yang kita terima cenderung di angka itu-itu saja. Contohnya seperti POWR yang membagikan deviden sekitar Rp 60/shares setiap tahun. Saya pribadi lebih memilih saham yang memiliki ruang growth yang tinggi dan membagikan deviden (walaupun secara yield tidak tinggi misal 4% per tahun). Ketika saham yang kita beli kinerjanya bertumbuh, labanya juga bertumbuh, dengan Deviden Payout Ratio yang samapun akan memberikan Yield yang terus meningkat.

 

Sebagai contoh, pada tahun 2010 harga saham MTDL sebesar 15,99 rupiah (harga disesuaikan dengan stocksplit / right issue). Jika kita membeli saham MTDL di 2010, maka deviden yield kita di tahun tersebut hanya sebesar 1,04% (deviden yang dibagikan kurang lebih 2M rupiah). Namun karena kinerja MTDL bertumbuh, tahun 2011 MTDL membagikan deviden sekitar 8M rupiah sehingga yield deviden kita menjadi 4,41%. Seiring terus bertumbuhnya kinerja MTDL, pada tahun 2024 ini MTDL membagikan deviden sebesar 257M rupiah sehingga memberikan yield deviden sebesar +-131% !!!. Artinya modal yang kita keluarkan untuk membeli saham MTDL di tahun 2010 KALAH DENGAN BESARAN DEVIDEN yang kita terima dalam 1 tahun.

 

Selain itu, harga saham MTDL sendiri dari 15,99 menjadi 600an lebih di tahun 2024. Itulah mengapa saya pribadi tetap akan memilih membeli saham-saham GROWTH untuk membangun pasif income dibandingkan memilih saham-saham yang membagikan deviden tinggi.

Jangan lupa, deviden saham jika kita tarik akan kena pajak sebesar 10%.

 

Keunggulan investasi saham ini yang pertama tidak membutuhkan modal besar, kita bisa membelinya dengan cara mencicil dari penghasilan kita, selain itu saham tidak membutuhkan biaya tahunan. Yang terakhir, saham juga memberikan potensi peningkatan capital di samping memberikan deviden setiap tahunnya. Kelemahan investasi di saham ini terletak pada pemilihan sahamnya yang tidak bisa sembarangan , karena jika kita salah berinvestasi maka bisa menyebabkan capital loss juga (Jika teman-teman ingin melihat saham-saham pilihan Arvest bisa berlangganan Arvest Seeds).

 

Let's Build Our Passive Income !