Istilah leverage dalam dunia bisnis merujuk pada konsep penggunaan modal berupa pinjaman sebagai sumber pendanaan bisnis. Pada umumnya leverage digunakan untuk ekspansi bisnis, akuisisi, atau untuk menangkap peluang bisnis yang muncul. Selain itu secara khusus dalam dunia investasi, leverage juga dapat dikatakan sebagai strategi investasi yang menggunakan uang pinjaman untuk meningkatkan potensi imbal hasil investasi.
Contoh umum bisnis yang menggunakan leverage tinggi adalah bank. Dalam neraca bisnis perbankan, nature of the business-nya memiliki Debt to Equity Ratio (DER) yang tinggi. Mengapa demikian? Karena aset bank sebagian besar berisi dana nasabah yang menaruh uangnya di bank sehingga bank mengakuinya sebagai liabilitas lalu kemudian dana nasabah tersebut disalurkan sebagai kredit. Selisih bunga yang dibayarkan debitur dengan bunga yang diberikan bank kepada krediturnya adalah bagian dari laba bank. Inilah model dasar bisnis bank.
Mengingat besarnya rata-rata basis aset yang tercatat di neraca bank relatif terhadap ekuitasnya, maka sebenarnya tidak sulit untuk membayangkan skenario hari kiamat suatu bank. Net income bank berfungsi sebagai lapisan perlindungan pertama terhadap kerugian kredit bank. Apabila kerugian pada suatu periode tertentu itu melebihi net income-nya, maka rekening Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) kredit di neraca berfungsi sebagai lapisan perlindungan kedua. Bank harus memiliki pos CKPN ini untuk melindungi pemegang saham terutama pemegang saham publik yang hanya memiliki sebagian kecil saham di bank tersebut dan tidak memiliki kontrol terhadap bank mengingat besarnya leverage yang digunakan oleh bank. Jika kerugian dalam suatu periode melebihi cadangan, selisihnya akan langsung memakan ekuitas pemegang saham. Ketika skenario buruk ini terjadi selama bertahun-tahun, bank harus melakukan penambahan modal.
Formula untuk menghitung Leverage Ratio: aset/ekuitas. Dalam Industri finansial terutama perbankan di Indonesia umumnya ada di kisaran 5:1 hingga 10:1. Sedangkan pada industri non perbankan angkanya 3:1 ke bawah. Leverage tidaklah selalu buruk. Investor harus memandang leverage layaknya dua sisi mata uang, satu sisi perusahaan dapat meningkatkan keuntungan dengan penggunaan leverage namun sisi lainnya juga ada bahaya yang melekat. Misalnya, jika Anda membeli rumah secara kredit seharga Rp. 1.000.000.000,- dengan down payment Rp. 100.000.000,- maka dapat dikatakan ekuitas Anda adalah 10%. Dengan kata lain Anda ter-leverage sebesar 10:1. Angka leverage 10:1 ini adalah umum terhadap industri perbankan. Namun apabila di aplikasikan ke perorangan pribadi, hal ini bisa membuat Anda berada di posisi yang sangat tidak menguntungkan. Katakanlah tujuan Anda membeli rumah tadi hanya karena tuntutan mertua, merasa “wajib” untuk punya rumah dan rumah yang Anda beli tadi nilainya turun 15% menjadi Rp. 850.000.000,- maka ekuitas anda sudah habis. Malahan Anda masih berutang kepada kreditur sebesar Rp. 900.000.000,-. Misalkan Anda tidak kuat mencicil rumah itu, bisa saja rumah itu Anda jual seharga Rp. 850.000.000,- dan pergi mencari kontrakan, tapi tetap Anda masih memiliki utang kepada kreditur sebesar Rp. 50.000.000,-. Faktor seperti bunga KPR, pajak, biaya notaris, dll tidak saya masukkan untuk menyederhanakan contoh ini. Lho tapi kok rumah bisa turun harganya 15%? Ya kenapa tidak kalau Anda membelinya dari agen properti yang harganya kemungkinan sudah overpriced. Bisnis apapun yang menggunakan leverage tinggi juga situasinya sama seperti contoh di atas.
Sekali lagi leverage yang tinggi bukan berarti pasti buruk. Pahami circumstance-nya.
Thanks for reading...