ANALISIS: PT. Madusari Murni Indah, Tbk (MOLI), Pemain Tersembunyi Dibalik Rally Harga Ethanol (Q2 2025)
Sekitar 1 mingguan ini ada satu komoditas yang mencuri perhatian karena harganya yang naik lumayan: ETHANOL.
Sumber: https://id.tradingeconomics.com/commodity/ethanol
Saya sendiri di sekitar pertengahan 2023 pernah melakukan analisis bisnis PT. Madusari Murni Indah, Tbk (MOLI) dan PT. Indo Acidatama, Tbk (SRSN). Keduanya bergerak di bidang produksi ethanol. Namanya mungkin asing karena jarang muncul di headline investor, namun punya potensi di balik kenaikan harga ethanol. So, apakah memang benar-benar menarik?
Sebelum membahas potensinya, ada baiknya mengetahui seluk beluk bahan baku untuk produksi ethanol terlebih dahulu yaitu Molasses.
MOLASSES / TETES TEBU
Molasses atau tetes tebu merupakan bahan baku utama dalam proses produksi ethanol. Bahan baku tersebut tentu didapatkan dari pemasok utama yang umumnya adalah pabrik gula karena molasses merupakan produk sisa/limbah dari proses produksi pabrik gula dalam memproduksi gula. Jadi apabila terdapat gangguan terhadap proses produksi pabrik gula, maka jumlah molasses yang dapat dihasilkan juga akan menurun. Ada juga faktor cuaca yang merupakan hal yang tidak dapat dikontrol atau diprediksi dan dapat mempengaruhi pasokan bahan baku pabrik gula dan yang secara langsung mempengaruhi jumlah molasses yang dihasilkan oleh pabrik gula tersebut.
Kualitas molasses yang dihasilkan oleh pabrik gula juga dapat mempengaruhi proses produksi ethanol. Kandungan gula yang terdapat di dalam molasses menjadi faktor penting yang harus diperhatikan dalam menjalankan proses produksi ethanol. Kandungan gula tersebut bergantung kepada seberapa baik proses produksi gula yang dijalankan oleh pabrik gula. Semakin baik proses produksi gula, maka semakin rendah kadar gula yang terdapat pada molasses. Akibatnya jika kadar gula dalam molasses itu semakin rendah, maka produsen ethanol membutuhkan jumlah molasses yang lebih banyak untuk menjaga kapasitas produk yang dihasilkan.
Harga molasses yang ditawarkan oleh pabrik gula ditentukan oleh seberapa banyak kandungan gula yang terdapat pada molasses. Jika kandungan gula pada molasses semakin rendah maka harga molasses itu juga semakin rendah, begitu juga sebaliknya semakin tinggi kandungan gula pada molasses maka harganya juga semakin tinggi. Namun, pada kondisi dimana permintaan pasar terhadap molasses lebih tinggi dibandingkan dengan persediaan, molasses dengan kandungan gula yang rendah dapat memiliki harga yang lebih tinggi dibandingkan molasses dengan kadar gula yang tinggi pada kondisi pasar yang normal.
Proses pengadaan molasses untuk perusahaan seperti MOLI (lokasi factory di Malang Jawa Timur) dan SRSN (lokasi factory di Jawa Tengah) tentu diperoleh dari pabrik-pabrik gula di sekitarnya yaitu di Jawa dan tidak bisa terlalu jauh karena alasan biaya angkut yang membuat proses produksinya menjadi tidak efisien. Proses pengadaan molasses tersebut hanya dapat dilakukan pada saat berlangsungnya musim giling tebu dari pabrik gula setahun sekali di sekitar bulan Juni – September setiap tahunnya – tergantung jadwal dari masing-masing pabrik gula.
Molasses ini berkontribusi 50% hingga 60% dari total COGS produksi ethanol. Sisanya adalah biaya energi sekitar 15%-20% – yang umumnya bersumber dari batubara, biaya tenaga kerja langsung dan sebagian kecil bahan kimia/bahan pembantu lainnya (enzim/yeast). Jadi jelas naik turunnya molasses adalah faktor penentu kinerja perusahaan seperti MOLI dan SRSN.
BAGAIMANA PROFITABILITASNYA?
Saya mengambil contoh MOLI karena secara fundamental saya lebih condong ke MOLI dibandingkan SRSN.
Setelah kita mengetahui lika-liku molasses, tidak heran secara angka-angka di laporan keuangannya akan terlihat bumpy alias labanya tidak bisa konsisten. Begitu juga dengan free cash flow-nya. Profitabilitasnya sangat dipengaruhi oleh naik turunnya molasses, ketersediaan molasses, hingga naik turunnya harga energi (batubara).
Model bisnisnya memaksa perusahaan untuk menimbun persediaan selama 6 bulan lebih – days inventory mencapai kurang lebih 180 hari atau lebih karena musim giling tebu yang terjadi hanya setahun sekali itu. Jadi pada waktu musim giling tebu, normalnya MOLI akan menimbun persediaan sebanyak-banyaknya atau yang menurut manajemen aman untuk produksi setidaknya 1 tahun. Apabila perusahaan tidak melakukan hal tersebut, maka produktivitasnya juga bisa terancam karena kehabisan bahan baku.
Secara angka Return on Equity (ROE) perusahaan seperti MOLI mustahil mencatatkan angka yang tinggi. Berikut analisis dari angka-angka pembentuk ROE:
Karena model bisnisnya yang harus menimbun persediaan molasses itu, maka sudah sewajarnya perputaran inventory MOLI rendah, sedangkan komponen pembentuk asset lancarnya sekitar 70%-80% terdiri dari persediaan dan piutang. Kasnya juga tidak terlalu banyak, hanya cukup untuk operasional perusahaan saja karena ditancapkan ke persediaan dan piutang. Alhasil asset turnover MOLI hanya bisa mencatatkan angka 0,7x yang secara singkat artinya assetnya hanya berputar tidak sampai 1 kali dalam 1 tahun. Bandingkan dengan misalnya perusahaan yang juga assetnya sangat besar seperti PT. Hartadinata Abadi, Tbk (HRTA) namun perputaran assetnya bisa mencapai 4,72x dalam setahun. Mana yang lebih profitable?
Lalu komponen lainnya pembentuk ROE yaitu marjin laba perusahaan dimana MOLI secara marjin laba sangat tidak stabil karena ethanol adalah commoditylike product, perusahaan tidak sepenuhnya memiliki kemampuan mengatur harga jual produknya karena sangat minimnya diferensiasi antara produk ethanol perusahaan satu dengan lainnya. Selain itu secara beban-beban juga terekposur dari naik turunnya harga molasses dan batubara.
Satu-satunya yang menopang ROE MOLI adalah dari financial leverage, dimana saya kurang tertarik perusahaan yang ROE-nya tinggi karena memiliki financial leverage yang juga tinggi kecuali financial business seperti bank. Untungnya manajemen MOLI saya lihat cukup konservatif dalam mengambil utang bank, MOLI tidak memiliki utang jangka panjang, hanya ada utang jangka pendek yang sejatinya digunakan untuk menimbun molasses begitu musim giling tebu tiba.
Jadi, apakah mungkin MOLI memiliki ROE 20%? Jawabannya bisa, ambil saja financial leverage 10x maka hasilnya (Q2 2025) = 2.9% x 0,7 x 10 = 20,3%. Tapi risikonya juga akan meningkat tajam. So, sudah sewajarnya bisnis MOLI ini mustahil punya ROE tinggi, karena model bisnisnya tidak memungkinkan untuk itu, kecuali harga dan volume jualan ethanol-nya multibagger.
PERSPEKTIF BISNIS PABRIK ETHANOL DARI SISI TRUCKING/ANGKUTAN MOLASSES
Kebetulan saya punya teman penyuplai spare part truk untuk perusahaan truk daerah Probolinggo, Mojokerto, dan sekitarnya. Teman saya ini juga mengatakan keterangan yang sejalan dengan analisis awal saya terhadap bisnis ethanol, yaitu truk-truk yang mengangkut molasses itu hanya kerja 1 tahun sekali (sekitar bulan Agustus – September tiap tahun), alhasil mereka harus mencari angkutan lain untuk menutupi operasional. Namun kendalanya truk yang dipakai untuk angkutan molasses ini biasanya truk yang usianya sudah tua-tua.
RISK TO CONSIDER
- Saat ini hasil produksi ethanol domestic kalah dengan impor terutama dari Pakistan. Hal ini diperparah dengan bea masuk 0%. Kelemahan ini bersifat struktural karena produksi dan luas perkebunan tebu Indonesia kalah dibandingkan Pakistan. Selain Pakistan ada Brazil, India, China, Thailand, Meksiko yang produksi tebunya jauh melampaui Indonesia.
- Secara produk ethanol sendiri Indonesia juga tidak termasuk top 5 negara penghasil ethanol. Sehingga perusahaan seperti MOLI dan SRSN ini sangat membutuhkan backingan dari pemerintah untuk tidak digempur ethanol impor.
- Faktor alam yang tidak dapat diprediksi dapat menjadi hambatan terhadap kinerja MOLI. Bisa saja saat siklusnya sedang bagus (ethanol dihargai mahal) tapi alam sedang tidak bersahabat sehingga molasses yang dihasilkan buruk atau MOLI tidak mendapatkan cukup molasses.
Di bulan Juni 2023 saya pernah bertanya ke manajemen MOLI terkait hal tersebut. Berikut screenshot-nya.
CONCLUSION
Secara umum manajemen MOLI menurut saya sangat hebat masih bisa membuat bisnis MOLI ini mencatatkan laba dan free cash flow yang positif. Namun, dalam berinvestasi kami mencari perusahaan yang bisa dengan nyaman di-hold jangka panjang bahkan lifetime hold, sedangkan MOLI tidak memberikan kenyamanan itu. Cara berinvestasi di perusahaan seperti MOLI ini adalah dengan membelinya ketika kondisinya sedang buruk dan harga sahamnya sedang hancur lalu menjualnya saat kondisinya bagus. Untuk bisa seperti itu membutuhkan investor untuk memahami betul siklus bisnis ethanol dan kondisi makro yang berpengaruh terhadap harga ethanol.
Jadi bagaimana menurut teman-teman terhadap bisnis ethanol ini? Bisnisnya berada di landscape bisnis yang enak atau tidak enak? Jika ditawari memiliki bisnisnya apakah teman-teman mau?
Disclaimer: Saya dan Arvest tidak memiliki saham MOLI dan SRSN!
Thanks for reading…