Kadang berapa besar porsi uang yang kita yang diinvestasikan terhadap suatu saham bisa menjadi ukuran “Kejantanan” investor. Semakin sedikit jumlah saham dalam portofolio Anda, maka semakin “jantan” Anda.
Di sisi ekstrem lainnya, maksud saya di industri mutual fund (reksadana), jumlah saham yang dimiliki bisa puluhan atau bisa saja ratusan saham. Konstruksi portofolio reksadana saham ibarat Bahtera Nuh, membawa banyak hewan (saham) masing-masing 2 berpasangan. Selain itu regulasi dan ukuran dana reksadana menghalanginya untuk membeli perusahaan small caps-mid caps. Kita semua tahu, penggerak IHSG sebagai market cap weighted index, naik turunnya bersumber 50% dari 10 saham berkapitalisasi pasar terbesar, jika jumlahnya dinaikkan menjadi 20 saham dengan market cap terbesar maka setara dengan sekitar 75%. Sedangkan saham yang ada di IHSG per hari ini ada 954 buah saham. Oleh karena itu, dalam jangka panjang konstruksi portofolio reksadana akan sulit mengungguli pasar. Selain itu pendekatan wide-diversification juga memiliki beberapa masalah struktural. Pertama, dan yang paling penting, menimbulkan “ketidakpedulian”. Jika posisi sebesar 0,5% menjadi multibagger atau turun 50%, dampaknya terhadap portofolio sangatlah kecil. Kedua adalah sulitnya mempertahankan riset terhadap semua posisi yang dimiliki. Yes, Anda bisa beralasan reksadana punya banyak tim analis di dalamnya, namun keputusan buy, hold, sell ada di tangan manajer portofolio. Ketiga, ide ke 60 mungkin tidak sebaik ide ke 30, atau bahkan ide ke 10, terutama di pasar yang overvalued, di mana ide bagus itu LANGKA.
Aturan umumnya, terlalu banyak diversifikasi maka kinerja portofoliomu akan semakin sulit mengalahkan pasar, sebaliknya terlalu terkonsentrasi maka kesalahan sedikit saja bisa sangat berbahaya.
Dulu di sebuah forum investor, ada seseorang yang selalu memiliki portofolio 1 saham saja alias ALL IN SINGLE STOCK, maksimal 2 saham. Saya bahkan tidak ingat beliau pernah atau tidak memiliki lebih dari 2 saham. Oh ya, beliau ini bukan pemain saham yang cuma ratusan juta, kelasnya sudah miliaran dan dibenamkan hanya pada 1 saham saja. Singkat cerita pilihannya tepat, kekayaan meningkat tajam lalu saham tersebut dijual, beli lagi saham kedua dan ketiga yang juga tepat dan sudah dijual sehingga terjadilah compounding kekayaan. Kalau saya membayangkan menjadi beliau, rasanya mungkin kepercayaan diri dan kegantengan meningkat 100%.
Sayangnya, ketika beralih ke saham yang keempat, kali ini kurang tepat, saham tersebut turun lebih dari -50%, beliau cutloss dan membeli saham kelimanya yang juga akhirnya turun sekitar -50%. Compounding kekayaan yang tercipta sebelumnya akhirnya sirna. Semoga saja investasi berikutnya bisa mengembalikan kerugian yang sudah terjadi. Sebenarnya saya tidak mengenal beliau secara pribadi, namun pernah sekali berhubungan via chat. Inti yang mau saya sampaikan dari kisah ini adalah:
Under-diversification itu berbahaya, karena hanya dengan beberapa kesalahan atau kesialan kecil saja, seluruh portofolio bisa hancur. Tapi Wide-diversification juga sangat menghabiskan waktu kita yang berharga, namun kekayaan kita juga tidak bertumbuh. Kalau disuruh memilih salah satu, lebih baik sekalian saja miliki seluruh pasar alias beli index fund daripada susah-susah analisis. Sehingga kesimpulan saya under-diversification lebih berbahaya daripada wide-diversification.
Namun reksadana indeks (index fund), walaupun dipermukaan terlihat sangat terdiversifikasi dan tidak perlu sakit kepala analisis satu persatu posisi, ada masalah struktural yang saya temukan yaitu reksadana indeks itu terlalu terdiversifikasi sekaligus tidak cukup terdiversifikasi. Bingung? Here we go… Ambil saja contoh LQ 45 atau Kompas 100, salah dua indeks paling populer di pasar saham Indonesia. Indeks ini berisi 45 saham paling likuid berkapitalisasi pasar besar atau 100 saham bagus menurut Kompas. Ingat tadi, IHSG sebagai market cap weighted index digerakkan 75% hanya dari 20 saham saja, artinya jika kita membeli reksadana indeks maka saham yang harganya mahal atau yang baru saja naik harganya akan memiliki bobot lebih besar. Maka, Anda by system akan “terdiversifikasi” ke banyak saham yang overvalued. Ini against value investing principle. Jadi jika Anda memiliki banyak sekali saham yang terpapar risiko besar, apakah itu benar-benar bisa disebut thoughtful & mindful diversification? Sesungguhnya yang Anda lakukan just for the sake of diversification!!!
Lalu Bagaimana Seharusnya Membangun Konstruksi Portofolio Menurut Arvest?
Kami ingin memiliki portofolio yang terkonsentrasi juga terdiversifikasi. Kontradiksi sekali ya? Investing full of paradox and contradiction. Intinya kami ingin portofolio yang tidak terlalu banyak saham, sehingga setiap keputusan yang kami ambil benar-benar berarti, setiap bisnis yang sahamnya kami miliki benar-benar kami gunakan produk/jasanya jika memungkinkan (bukan berarti jika kami memiliki saham batubara maka kami akan beli batubara sungguhan), namun kami akan melakukan pendekatan ke teman/kenalan/berusaha berkenalan dengan orang yang memiliki bisnis tersebut untuk mendapatkan insight langsung ke landscape bisnisnya. Sebaliknya, kami juga tidak ingin memiliki terlalu sedikit saham yang membuat satu atau dua saham jika hancur maka seluruh portofolio hancur!
Konstruksi portofolio itu seperti kata Peter Lynch “Owning stocks is like having children - don’t get involve with more than you can handle.” Jadi bisa dikatakan konstruksi portofolio setiap investor itu bisa sangat personal, namun jangan hanya berisi satu saham (saya tidak capek-capek mengulang ini!). Portofolio Arvest biasanya berisi sekitar 5-10 saham dengan porsi yang mungkin bisa berbeda-beda tiap posisinya (Position Sizing), mungkin jika dana yang kami kelola di masa depan lebih besar lagi maka tidak menutup kemungkinan kami bisa memiliki 10-15 saham. Tidak ada angka pasti disini, namun prinsipnya harus cukup untuk menampung bad luck tapi tetap memungkinkan untuk berperforma mengalahkan pasar.
Berapa Position Sizing Tiap Saham Ala Arvest?
Kami menentukan besaran posisi dengan proses kuantitatif dan kualitatif yang jelas:
- Size maksimal satu saham dalam portofolio adalah 30%
- Size terkecil adalah 5%
- Bet big di saham yang paling kami yakini kualitasnya
- Tidak memiliki saham di sektor yang sama, misalnya ketika kami sudah memiliki posisi di sektor perbankan, maka kami tidak akan membeli lagi saham bank, kami harus memiliki saham di sektor lainnya selain perbankan.
- Tidak menjual saham pemenang hanya untuk average down saham yang sedang floating loss. As Peter Lynch said “It’s like cutting flower watering weeds.” Kenaikan saham pemenang bisa lebih dari 100% sedangkan saham loser tidak akan mungkin loss melebihi 99%/delisting. Unlikely jika Anda memilih saham dengan strategi value investing Anda bisa terjebak ke saham delisting.
Tujuan dari semua itu adalah:
- Menggeser portofolio agar lebih terkonsentrasi ke perusahaan berkualitas tinggi yang berjalan di jalur yang berbeda dengan eksposur risiko yang berbeda (ingat ketika saya mengatakan “risiko” itu bukan berarti melulu terhada naik turunnya harga saham, namun “risiko” yang saya maksud adalah terlebih pada kekuatan bisnisnya yang dapat menyebabkan investor kehilangan modal secara permanen)
- Mengurangi pengaruh emosi dalam membangun portofolio
- Memastikan adanya diversifikasi yang mindful & thoughtful
Dibalik semua itu, proses riset Arvest sangat kualitatif, kami membaca laporan tahunan, berbicara dengan pesaing, pelaku bisnis, karyawan, dan mungkin mantan karyawan, kami menganalisis laporan keuangan.
Sebelum melakukan valuasi, kami selalu membayangkan bear case atau kondisi yang mungkin bisa membunuh bisnis yang sedang kami analisis, dengan menghitung nilai intrinsik dalam skenario terburuk dan nilai wajar yang masuk akal menurut kami. Kami menyesuaikan position sizing berdasarkan kualitas perusahaan, karena walaupun nilai intrinsik itu bersifat “semu” namun kualitas bersifat absolut bagi kami. Walaupun kadang kami bisa salah menilai kualitas suatu perusahaan sehingga mengalami kesalahan dalam valuasi, but it’s better to be approximately right than precisely wrong menurut John Maynard Keynes.
Ilustrasinya: Perusahaan yang sama, pada harga saham yang berbeda, akan membuat ukuran posisinya berbeda. Misalnya, jika perusahaan A memiliki nilai wajar 1.000, maka pada harga 600 bisa jadi memiliki posisi 10%, dan pada harga 400 bisa menjadi 15%. Perusahaan B dengan kualitas yang sedikit lebih rendah dari perusahaan A namun nilai wajarnya sama misalnya 1.000 akan menjadi memiliki posisi 7,5% dan di harga 600 memiliki posisi 10%, dst… Artinya, jika ada dua perusahaan dengan ekspektasi imbal hasil yang sama, namun salah satunya berkualitas lebih tinggi, sistem kami otomatis memberi bobot lebih besar pada yang berkualitas tinggi. Jika ini diterapkan ke banyak saham, maka portofolio Anda akan otomatis bergeser ke arah saham berkualitas tinggi dengan imbal hasil tinggi. Ini adalah sistem meritokrasi yang memadukan kualitas dan imbal hasil yang idenya saya pelajari dari buku “Principles” author Ray Dalio.
Thanks for reading…