Salah satu buku investasi terbaik yang bisa Anda baca adalah Poor Charlie’s Almanack – The Wit and Wisdom of Charlie Munger. Buku itu berisi kumpulan cerita, percakapan, dan opini dari Charlie Munger tentang kehidupan dan investasi yang dikompilasikan dalam bentuk buku oleh Peter D. Kaufman. Walaupun pertama kali terbit pada tahun 2005 alias sudah 25 tahun lalu, namun prinsip-prinsip di dalamnya tak lekang oleh waktu. I recommend you read this wonderful book!
Investasi pada dasarnya adalah tentang memiliki mindset yang tepat terlebih dahulu. Walaupun kita menguasai skill teknisnya seperti mampu membaca laporan keuangan dan menilai sebuah bisnis belum tentu kita survive dalam berinvestasi saham. Semua sarjana akuntansi tentu bisa membaca laporan keuangan, namun tidak semuanya bisa survive dalam berinvestasi saham. Mindset value investing adalah yang terpenting dan yang utama, baru setelahnya kita berbicara tentang melakukan riset tanpa henti serta memiliki keterampilan untuk melakukan riset tersebut.
Berbicara tentang skill teknis, Anda membutuhkan kemampuan untuk setidaknya membaca dan mengintepretasikan laporan keuangan secara basic. Tanpa kemampuan itu Anda pasti akan gagal dalam investasi saham karena yang Anda lakukan sebenarnya bukan investasi tapi spekulasi. Jadi, mari kita bahas sedikit tentang akuntansi.
Dalam buku yang saya sebutkan di awal artikel ini, Charlie Munger ada menyebutkan 3 hal yang menurut saya sangat penting untuk dipahami:
- Penyalahgunaan EBITDA
- Akuntansi agresif
- Etika Kantor Akuntan Besar
Saya akan berusaha menjelaskan hal-hal di atas dengan sederhana dan menggunakan contoh nyata perusahaan di BEI:
PENYALAHGUNAAN EBITDA
EBITDA adalah Earnings Before Interest, Taxes, Depreciation & Amortization. Formulanya cukup mudah yaitu:
EBITDA = Laba bersih + Beban Bunga + Pajak + Depresiasi + Amortisasi
Bayangkan Anda punya warung WARMINDO yang sudah berjalan 5 tahun. Warung Anda itu menggunakan modal utang berbunga yang harus Anda cicil setiap bulannya dan karena sudah berjalan selama 5 tahun, banyak peralatan-peralatan seperti freezer, kompor, meja, kursi mulai rusak (penyusutan/depresiasi). Selain itu karena Anda melakukan perjanjian lisensi untuk brand WARMINDO, maka Anda harus membayarkan fee waralaba untuk memperpanjang penggunaan brand-nya. Terakhir, tentu saja sebagai pemilik usaha yang baik Anda harus membayar pajak penghasilan ke negara. Data keuangan warung WARMINDO Anda sebagai berikut: (dalam jutaan rupiah)
- Pendapatan : 1.000
- COGS : 600
- SGA Expenses : 200
- Depresiasi (D) : 45
- Amortisasi (A) : 5
- Bunga : 30
- Pajak : 40
Maka hitungannya adalah:
- Pendapatan – COGS – SGA Expenses (Tanpa D&A) = 1.000 – 600 – 200 = Rp. 200 (EBITDA)
- EBITDA – Depresiasi – Amortisasi = 200 – 50 = Rp. 150 (EBIT)
- EBIT – Beban Bunga = 250 – 30 = Rp. 120 (EBT)
- EBT – Pajak = 120 – 40 = Rp. 80 (Net Income/Laba Bersih)
Kalau semua biaya itu dihitung maka keuntungan bersihnya sisa Rp. 80 juta, sedangkan jika menggunakan EBITDA, Anda akan melihat keuntungan bersih warung WARMINDO Anda Rp. 200 juta. Mengapa demikian?
- Earnings Before Interest – seolah-olah utang tidak penting.
- Before Taxes – seolah-olah pajak tidak penting. Apakah pajak penting bagi Anda?
- Before D & A – depresiasi dan amortisasi adalah biaya yang sudah nyata terjadi. Walaupun bukan dalam bentuk kas, perusahaan sudah mengeluarkan uang itu di masa lalu.
Jadi EBITDA angkanya pasti lebih tinggi dibanding EBIT atau Laba Bersih karena “mengabaikan” beberapa biaya penting di atas. Charlie Munger menyebut EBITDA sebagai BULLSHIT EARNINGS. Mari saya beri contoh perusahaan real di BEI.
PT. Superior Prima Sukses, Tbk (BLES) adalah perusahaan produsen bata ringan di Indonesia. Dalam presentasi investor mereka tahun 2024, ditunjukkan grafik indah sales mereka yang terus bertumbuh dan ketika saya hitung EBITDA-nya juga terus bertumbuh.
EBITDA tumbuh dari 145,5 miliar di tahun 2021 menjadi 318 miliar di 2024 dan di paruh pertama 2025 juga meningkat dibandingkan paruh pertama 2024. Terlihat luar biasa bukan? Namun, jika saya lihat arus kasnya di 2024 malah anjlok -25% dibandingkan 2023, free cash flow-nya di 2024 justru menunjukkan angka negatif. Di paruh pertama 2025 sales konsisten meningkat 10% dibandingkan 2024, EBITDA juga meningkat, namun CFO mengalami penurunan, bahkan FCF menunjukkan angka negatif yang lebih besar.
Pertanyaannya: Jika kita mengambil data di tahun 2023 dengan EBITDA sebesar Rp. 310 miliar, laba atau arus kas yang benar-benar tersedia bagi pemegang saham hanyalah Rp. 104 miliar, hanya sekitar 33% EBITDA. Menurut Anda, angka mana yang lebih mewakili kondisi bisnis sebenarnya dan potensi imbal hasil Anda?
Lalu mengapa banyak perusahaan dan analis fokus pada EBITDA, bukan pada arus kas bebas (FCF)? Karena itulah angka yang indah dan tampak besar yang dipakai untuk menunjukkan laba perusahaan apalagi jika FCF dan laba bersihnya minus karena beberapa alasan seperti beban bunga tinggi, EBITDA kemungkinan besar tampak positif. Selain itu bisa juga digunakan untuk memperkirakan level utang.
Utang berbunga BLES terlihat baik-baik saja hanya, 2x EBITDA di 2023, tetapi jika dilihat dari perspektif free cash flow, utangnya adalah 6x FCF – bahkan di tahun-tahun berikutnya tidak bisa dihitung karena FCF-nya negatif.
Pertimbangannya adalah maukah Anda jika punya perusahaan yang tidak menghasilkan kas, tetapi memiliki utang berbunga sekitar 500 miliar? Bahkan, manajemen mengambil utang untuk membayar dividen. Dividen dari utang belum tentu hal buruk, hanya lebih berisiko saja – terutama jika arah angin bisnisnya berubah, perusahaan bisa kesulitan.
Contoh: jika kompetisi di industri bata ringan makin ketat karena semakin banyaknya pemain skala besar yang masuk ke market bata ringan, sedangkan bata ringan adalah commodity-like product yang tidak memiliki pricing power. Kondisi ini memaksa BLES harus memberikan piutang lebih panjang dan menurunkan margin untuk memenangkan kompetisi, sementara kompetitor dengan skala yang sama dan lebih besar memiliki moat cost advantage alias perusahaan yang beroperasi lebih efisien, maka semua bisa runtuh. Satu-satunya jalan untuk BLES bisa tetap profit adalah memproduksi bata ringan dengan campuran yang lebih murah dari kompetitor dengan mengorbankan kualitas supaya bisa menjual dengan harga yang lebih rendah. Namun sebagai investor, hal ini harus dipandang sebagai penurunan kualitas fundamental bisnis.
Inilah permasalahan menggunakan EBITDA: seakan-akan untuk membandingkan performa bisnis, Anda bisa mengabaikan beban bunga, pajak, depresiasi dan amortisasi. Menurut Charlie Munger ini hal yang konyol, karena tidak ada perusahaan bisa berutang tanpa batas dengan bunga tetap. Begitu masalah datang, EBITDA terbukti tak berguna. Perjanjian utang (covenant) dilanggar, dan perusahaan jatuh dalam masalah finansial.
Oleh karena itu, dalam melakukan analisis kuantitatif, saya seringkali mengabaikan angka EBITDA. Terlebih kadang saya berdebat dengan teman-teman analis saham yang menggunakan EBITDA, pernyataan saya tetap sama yaitu EBITDA tidak membantu dalam hal investasi. Lebih baik melihat apa yang ada di balik EBITDA daripada angka fokus pada angka EBITDA itu sendiri.
AKUNTANSI AGRESIF (AGGRESSIVE ACCOUNTING)
Akuntansi agresif adalah praktik mengutak-atik angka laporan keuangan agar terlihat lebih bagus dari kenyataannya.
Contoh: perusahaan tekstil terkenal di Indonesia PT. Sri Rejeki Isman, Tbk (SRIL), yang baru-baru ini bangkrut, terlihat penjualan dan labanya bertumbuh positif di kurun waktu hingga tahun 2020 – karena di tahun 2021keindahan laporan keuangan SRIL tidak bisa dipertahankan berujung ke permohonan PKPU.
Ada sejumlah red flags di SRIL (indikasi risiko kualitas laba/aggressive accounting) yang patut dicermati:
- Pertumbuhan EBITDA, tapi konversi ke kas lemah, arus kas bebas SRIL sama sekali tidak pernah positif, sedangkan kebutuhan modal kerja tinggi. Sehingga kas yang ada tidak cukup untuk memenuhi kewajiban jatuh tempo tanpa pembiayaan utang. Ini tipikal pola bisnis laba besar, kas tipis. Investor publik tidak dapat apa-apa.
- Perputaran modal kerja memburuk, hari persediaan dan hari piutang cenderung meningkat lumayan konsisten, ini mengikat kas dan membuat laba yang tercatat makin “rapuh”.
- Utang usaha pendek, jadi kombinasi hari utang pendek dengan hari piutang dan persediaan panjang, membuat perusahaan bergantung pada pendanaan eksternal untuk membiayai operasional/pertumbuhan.
- Utang berbunga dalam bentuk dolar, membuat SRIL juga terekposur risiko kurs, terbukti di 2021 terjadi missed payment dan rating turun ke RD (restricted default).
Kombinasi EBITDA yang “indah”, modal kerja menumpuk, konversi kas lemah, dan leverage tinggi, lalu memperpanjang siklus penagihan dan menimbun persediaan saat ekspansi/permintaan melambat, sehingga laba tercatat tetap tinggi tetapi kas tipis adalah ciri-ciri yang sering muncul dalam kasus aggressive accounting. Lagi-lagi, lihatlah arus kas perusahaan!
RUNTUHNYA ETIKA DI KANTOR AKUNTAN BESAR
Untuk yang satu ini saya harus mengambil contoh perusahaan luar negeri, yaitu Kraft Heinz (KHC), salah satu saham dalam portofolio Warren Buffet. KHC harus merevisi 3 tahun laporan keuangan.
Dulu, akuntan tidak ada yang kaya – mereka menjaga ke etisan mereka. Sekarang banyak yang kaya, sehingga insentifnya jadi salah arah. Seperti kata Charlie Munger, dulu akuntan itu “suci” karena miskin. Sekarang akuntan “diam saja” karena “Whose bread I eat, his song I sing” – siapa yang memberi makan, dialah yang mereka bela. Lho, saya yang awalnya berprofesi sebagai lawyer banting setir ke investor kok menemukan kesamaan antara lawyer dan akuntan? Charlie Munger juga basic-nya lawyer yang banting setir jadi investor.
Satu hal yang menjadi penyelamat: KAS. Uang tunai sulit disembunyikan, ada atau tidak, itu NYATA.
CONCLUSION
Carilah perusahaan yang menjaga hal-hal tetap sederhana, atau jika Anda bermain dalam permainan akuntansi, pastikan Anda paham risikonya.
Thanks for reading...