Ah saham naik pasti karena digoreng bandar, percuma belajar fundamental perusahaan, ikut apa kata si supir aja ! Kalimat seperti ini sekarang seringkali terdengar, apalagi sekarang maraknya para penganut aliran bandarmologi yang menganggap bahwa semua gerakan saham sudah ada yang mengatur, alias ada bandarnya masing-masing.


Memang di bursa IHSG sendiri banyak sekali saham-saham sampah terutama saham IPO yang kinerjanya ngga jelas tapi sahamnya bisa ARA berhari-hari dan pada akhirnya ARB ke gocap (50) bahkan sudah banyak yang nangkring di bawah gocap. Ya betul, saham-saham tersebut dikendalikan murni oleh bandar.

Siapa sih bandar di balik saham-saham IPO ? Bisa jadi emitennya sendiri, bisa jadi strategic investornya, bisa jadi operator pihak ketiga, yang pasti butuh kerja sama antara emiten dengan pihak si bandar ini untuk memuluskan aksi penggorengan sahamnya.


Contoh nyata emiten IPO yang dibandari sendiri tentu teman-teman sudah tidak asing dengan sahamnya pak Prajogod, saham-saham macam BREN , CUAN naik ratusan persen tanpa didasari kinerjanya dan membuat retail-retail yang ikut membeli saham-saham pak Prajogo Pangestu itu mendapatkan cuan berlimpah-limpah.


Wah kalau gitu rugi donk, belajar fundamental perusahaan, harus sabar bertahun-tahun supaya bisa multibagger, ini saham IPO 1 tahun aja naiknya udah berapa ratus persen ?


Bagi seorang investor sejati, keberhasilan investasi harus diukur dalam jangka panjang, bukan dalam hitungan 1 2 tahun saja. Trading menggunakan bandarmologi jika tepat timing membeli barangnya memang bisa memberikan keuntungan signifikan dalam jangka waktu cepat, tapi sebaliknya, jika terlambat membuang barang / menjual saham ketika si bandar melakukan distribusi bisa berakibat sangat fatal. Penurunannya ngga tanggung-tanggung dan mungkin teman-teman semua bisa melihat sejarah keganasan bandar di saham-saham Bakrie Group (salah satunya saham BUMI yang dahulu pernah di 8000 dan dibanting ke 50).


Lho ko tapi kan ada sistem cutloss, kalau memang kita salah beli kan tinggal cutloss saja ?


Memang benar secara teori, para trader ini bisa membatasi kerugian dengan cutloss, namun pada prakteknya, banyak sekali trader-trader yang nyangkut berjamaah akibat efek psikologis ketika harga sahamnya turun mereka masih berharap agar sahamnya bisa ada rebound, dan si bandar memang mengerti hal-hal seperti ini sehingga membuat perasaan para trader diombang ambingkan antara cutloss atau tidak. Alhasil, hanya segelintir trader-trader yang bisa selamat dari gocekan maut para market maker dalam memainkan psikologi retail.


Hal inilah yang membuat saya yang dulunya seorang aliran bandarmologi , mulai mempelajari aliran value investing. Hidup mati kita di tangan bandar seutuhnya kalau kita hanya mengandalkan aliran bandarmologi karena pergerakan harga saham murni diatur oleh mereka. Berbeda dengan value investing, ada fundamental / kinerja perusahaan sebagai dasar kita dalam membeli sebuah saham.


Ada 2 ciri utama saham-saham yang biasanya ada bandar di dalamnya :

1.      Market cap nya tidak terlalu besar dan porsi publiknya sudah didominasi oleh si bandar (ini bisa kita lihat di bid offer market kadang bisa tipis sekali kadang bisa muncul bid offer jumbo)

2.      Biasanya kinerja perusahaannya biasa-biasa saja tapi harga sahamnya naik jauh di atas kinerjanya


Kalau teman-teman perhatikan, bandar-bandar ini hanya bisa mendapatkan untung dengan cara menjual saham yang sudah digoreng naik sehingga harga sahamnya jauh di atas nilai wajar, mereka akan memancing retail untuk membeli di harga tinggi dengan berbagai cara, dan yang paling sering dilakukan adalah dengan menyebarkan rumour / berita (zaman sekarang semua berita bisa dibayar jadi sangat mudah untuk dimanipulasi). Masih ingat hype bank-bank digital tahun 2021? yang beritanya bank-bank konvensional akan dihabisi oleh bank digital padahal rata-rata bank digital saat itu laporan keuangannya hancur-hancuran.


Walaupun demikian, ada 1 hal pasti yang tidak akan bisa dilakukan oleh bandar saham. Mereka tidak akan bisa menghancurkan harga saham perusahaan yang kinerjanya wonderful. Karena mereka tahu, kalau mereka sengaja mau jatuhkan maka mereka sendiri yang berpotensi mengalami kerugian.


Kok yakin ko kalau bandar ga bisa mark down saham wonderful company ??


Coba teman-teman bayangkan, misal ada sebuah perusahaan yang kinerjanya tiap tahun terus bertumbuh, perusahaan ini juga membagikan deviden dan tidak ada masalah sama sekali dengan GCG perusahaannya. Anggap seperti ini :

Company X

Harga saham : 1000

Lembar Saham : 1.000.000.000

Market Cap 1 Triliun

Net Profit 200M

Deviden 50M


Kalau perusahaan X ini harga sahamnya dibawa turun katakanlah ke 500 rupiah, berarti market capnya tinggal 500M dan secara valuasi PE 2,5x , deviden yield menjadi 10%. Kalau harga sahamnya masih dibawa turun lagi katakan ke 300 rupiah, berarti market capnya tinggal 300M dan valuasi PE 1,5x dan deviden yieldnya menjadi 16,67%. Saat kondisi ini terjadi, maka para investor malahan berbondong-bondong masuk dan membeli saham ini secara masif dan pemain yang menshort (menurunkan) harga sahamnya yang akan menderita kerugian.


Oleh sebab itu, ilmu value investing ini akan tahan banting terhadap ancaman para bandar-bandar saham dan dengan berinvestasi saham menggunakan value investing, secara otomatis kita akan terhindar untuk membeli saham-saham yang harganya sudah digoreng setinggi langit jauh di atas nilai wajarnya.

Namun sayang seribu sayang, warga Konoha senang dengan “kaya instan” sehingga membuat ilmu value investing ini jarang dipakai dan lebih banyak orang-orang yang membeli saham dengan basic trading entah secara teknikal atau bandarmologi yang “diharapkan” bisa memberikan return lebih cepat.


Ada seorang investor legendaris dunia yang juga founder dari Himalayan Capital bernama Li Lu pernah berkata “Investor saham yang sukses jumlahnya akan sangat sedikit dibandingkan yang gagal, karena untuk menjadi seorang investor saham yang sukses anda butuh untuk membunuh rasa iri jika melihat teman trader anda bisa untuk cepat, membunuh ego diri sendiri jika dirasa analisa yang dibuat ada kekeliruan, sehingga setiap keputusan yang anda buat benar-benar mempunyai dasar rasionalitas saja. Tidak ada unsur perasaan yang bermain di dalamnya.”