Menurut kalian memiliki uang 100 juta rupiah di Indonesia pada tahun 1997 ini termasuk tingkat sosial menengah atau menengah atas? Ada berapa banyak keluarga yang di 1997 memiliki setidaknya 100 juta rupiah di Indonesia? Saya mencari datanya kok tidak menemukan sama sekali, akhirnya pakai jurus tanya-tanya generasi ortu, mertua, akhirnya dapat jawaban “ya kalau uang segitu zaman 1997 belum bisa disebut kaya, tapi sudah termasuk cukup”. Jadi kebetulan ortu saya dan mertua kerjaannya adalah buka toko, bedanya toko ortu jualannya oleh-oleh makanan Jawa Timur kalau mertua toko bangunan. Keduanya usaha perorangan tidak buka cabang dan dikelola secara amat sangat konvensional bahkan sampai saat ini! Tidak ada SOP, tidak ada job desk, tidak ada pembukuan yang proper, tidak ada komputer yang berisi software, semuanya serabutan, rekening bank atas nama pribadi, dan yang pasti tidak ada visi mau dibawa kemana usaha ini nantinya. Hahaha… Tapi keduanya di 1997 mengatakan memiliki 100 juta cash dan secara kebutuhan hidup sudah tercukupi, walaupun tidak mewah.


Nah, untuk tingkat sosial menengah ini, saya mendapatkan jumlah datanya dari World Bank dan Asian Development Bank, pada 1997, kelas menengah di Indonesia diperkirakan mencapai 20-25% populasi dari total jumlah penduduk Indonesia saat itu sekitar 204,6 juta jiwa. Yang artinya berjumlah 40,9-51,1 juta jiwa. Nilai 100 juta itu bila dihitung inflation adjusted (rata-rata 6,7% per tahun) ke masa kini tahun 2025, maka nilainya setara dengan 614,5 juta. Tidak bisa disebut miliarder, kan belum tembus 1 miliar. Menurut laporan distribusi kekayaan dari Credit Suisse Global Wealth Report: Sekitar 1-2% populasi dewasa (2,8-5,7 juta orang) di Indonesia yang memiliki kekayaan bersih (termasuk aset likuid dan non-likuid) lebih dari 1 miliar, jika fokusnya hanya pada cash atau aset likuid maka kurang dari 1 juta orang yang memiliki cash atau aset likuid 1 miliar. Saya tidak tahu datanya akurat atau tidak, tapi poinnya sebenarnya bukan disitu, saya ingin membicarakan tentang “Compounding”, seandainya pada waktu itu orang-orang dengan cash 100 juta itu menyadari the power of compounding, saya yakin saat ini di 2025 jumlah miliarder di Indonesia ini akan lebih banyak lagi!


Apa yang terjadi pada orang-orang tersebut sehingga tidak berhasil jadi miliarder? Mengapa banyak investor yang gagal mendapatkan manfaat dari compounding? Saya percaya alasan utamanya sebenarnya bukan terkait dengan resesi, depresi, perang, krisis keuangan, krisis politik, kenaikan suku bunga, inflasi, stagflasi, pandemi global, you name it! Return pasar saham Indonesia sejak 1997-2024 atau selama 27 tahun ini SUDAH MENCAKUP SEMUA HAL BURUK TERSEBUT! Selama 27 tahun ini, pasar saham naik dari 400 ke 7.036 alias 1.659%, yang artinya uang 100 juta rupiah di 1997 akan menjadi 1,59 miliar di 2024! Jadi kesimpulan saya bukan karena peristiwa makroekonomi yang buruk yang menggagalkan compounding, tetapi banyak orang Indonesia tidak sadar potensi besar yang tersimpan dalam pasar saham, kalaupun mereka sudah berinvestasi saham sejak dulu, reaksi dan perilaku buruk investor itu sendiri yang menggagalkan proses compounding.


Contoh perilaku buruk atau kontra-produktif semacam ini sudah kita kenal:

  • Mencoba menjual sebelum resesi berikutnya
  • Mencoba membeli sebelum pasar bullish berikutnya
  • Rebalancing portofolio berdasarkan apa yang saat itu dianggap lebih baik dalam paradigma yang baru
  • Menjual saham selama pasar mengalami penurunan, yang pada akhirnya membuat kehilangan peluang ketika pasar pulih


Getting in and getting out at all the wrong times, for all the wrong reasons – Ken Fisher


Orang melakukannya karena hal tersebut terasa intuitif, karena tindakan ini tampak rasional di tengah kekhawatiran dan ketidakpastian yang meningkat. Inilah alasan mengapa compounding jangka panjang begitu menantang dan langka: compounding menuntut perilaku yang berlawanan dengan intuisi dan tampak tidak rasional sehingga umumnya membuat orang merasa tidak nyaman. Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang tidak suka dengan ketidakpastian, padahal ketidakpastian itu sendiri adalah satu-satunya kepastian yang ada dalam pasar saham.


Salah satu topik favorit saya dalam buku The Intelligent Investor karya Benjamin Graham adalah tentang Mr. Market. Jika Anda bingung apa itu “Mr. Market”, itu adalah metafora dari pasar saham yang digambarkan oleh Ben Graham seolah-olah pasar saham itu bagaikan seseorang yang memiliki penyakit jiwa Bipolar Disorder dimana mood-nya sering berubah-ubah naik-turun sesuai kehendak hatinya atau bahkan tanpa sebab, disuatu waktu bisa amat sangat euforia tetapi diwaktu lainnya bisa depresi berat. Beliau menjelaskan bahwa pasar saham ada untuk melayani investor, bukan untuk mendikte/mengajarkan mereka. Investor yang follow the market ibarat seseorang yang berharap bisa mengikuti kegilaan Mr. Market.


Saya berpikir ini menunjukkan pentingnya membedakan antara kinerja fundamental bisnis dan pergerakan harga sahamnya. Investor yang cerdas dapat sesekali dilayani oleh pasar saham ketika fundamental bisnis dan harga saham mengalami penyimpangan. Namun, seringnya investor saham hanya terpengaruh oleh pergerakan harga saham, dan dari harga saham itu mereka menyimpulkan fundamental bisnisnya alias harga saham naik = bagus, turun = jelek. Investor yang demikian adalah yang tidak dilayani oleh pasar saham. Sebaliknya, mereka justru “diajarkan” atau “didikte” oleh pasar saham, yang seringkali hal ini menggagalkan proses compounding mereka sendiri.


Saya ingin memberikan sebuah contoh penyimpangan antara fundamental dan harga saham: (Perusahaannya real di BEI tapi maaf kode sahamnya saya samarkan karena ada conflict of interest dengan klien pengelolaan dana Arvest)

 

Perusahaan Otomotif “MOTO”

Pada kurun waktu 2022-2024, MOTO memiliki kinerja yang cemerlang:

  • Meningkatkan penjualan sebesar 11%
  • Meningkatkan laba kotor sebesar 20,8%
  • Meningkatkan EBIT sebesar 181%
  • Salah satu divisi bisnisnya, meraih market share no. 1 dengan 45% market share naik dari sebelumnya no. 3 di 2019
  • Free Cash Flow-nya selama 2 tahun berturut-turut positif dan kami yakin di tahun depan juga akan positif
  • Zero-Debt
  • Perputaran kas-nya sangat cepat kurang dari 20 hari


MOTO mencapai hasil-hasil yang mencetak rekor ini sambil melakukan re-investasi free cash flow-nya membangun anak usaha yang menawarkan pengalaman terbaik ke konsumen ketika bebelanja ke semua cabang tokonya baik secara offline maupun online atau kombinasi keduanya, sambil tetap menjaga transparansi dan service yang tak tertandingi bagi konsumen sehingga trust konsumen tetap terjaga atau bahkan meningkat.


Jika itu terdengar mengesankan, saya pun setuju. Lalu bagaimana kinerja harga saham MOTO sejauh tahun ini? Turun hampir 40% sejak titik tertingginya di Juli 2023 hingga Januari 2025 ini!


Harga saham seringkali menggambarkan cerminan dari kondisi masa depan, bukan masa lalu dan saya memahami bahwa penurunan harga saham pada akhir 2024 hingga awal 2025 sekarang ini berkaitan dengan kekhawatiran pasar tentang memburuknya kondisi makroekonomi dalam jangka pendek. Namun, itu tidak membatalkan poin utamanya, yaitu bahwa saya percaya sebuah bisnis akan semakin bernilai seiring dengan kualitas fundamentalnya yang terus bertumbuh. Ironisnya, jika MOTO seandainya bukan perusahaan publik, melainkan perusahaan privat, valuasinya mungkin dengan pantas dihargai lebih tinggi apabila perusahaan itu dijual. Namun, ironi inilah yang menjadi peluang besar di perusahaan publik yang disebabkan oleh perilaku Mr. Market.


Semoga ilustrasi ini menunjukkan mengapa Arvest tetap menjadi believer terhadap kualitas fundamental bisnis terutama bisnis-bisnis tempat kami berinvestasi dan inilah yang menjadi fokus utama saya baik sebagai investor secara pribadi maupun sebagai portfolio manager. Kami berupaya membiarkan pasar saham melayani kami ketika fundamental dan harga saham sebuah bisnis menyimpang. Inilah cara terbaik untuk mengaktifkan The Power Of Compounding.

 

Thanks for reading…