GONG XI FA CAI,
Saya dan segenap tim di Arvest mengucapkan selama tahun baru Imlek bagi teman-teman yang merayakannya, may this year be filled with abundance of smiles and laughter. Sudah dapat angpao berapa? Atau malah tekor bagi-bagi angpao? Kalau yang ada anak, saya sarankan angpao anaknya jangan diambil ortunya ya, tapi lebih baik dimasukkan ke rekening RDN buat beli saham saja. Nanti kalau anaknya sudah besar dan sudah memiliki fondasi dalam berinvestasi boleh di pindah alihkan pengelolaannya dari ortu ke anak. Hehehe…
Investasi itu penuh dengan ketidakpastian, satu-satunya kepastian yang ada adalah ketidakpastian itu sendiri. Jika Anda sudah pernah mencoba berinvestasi saya yakin Anda akan setuju. Tapi ada ketidakpastian yang dikenal dan ada juga ketidakpastian yang tidak dikenal, atau bahasa kerennya “Known Unknowns” dan “Unknown Unknowns”, istilah yang dipopulerkan oleh Donald Rumsfeld, mantan Menteri Pertahanan AS dalam sebuah konferensi pers pada tahun 2002. Istilah tersebut memang aslinya digunakan untuk menjelaskan ketidakpastian dalam intelijen militer pada waktu itu, tetapi value investing itu seringkali sangat beririsan dengan berbagai macam aspek kehidupan termasuk yang satu ini. Apa artinya?
- Known Unknowns (Ketidakpastian Yang Dikenal). Ini adalah hal-hal yang kita sadari sebagai risiko atau ketidakpastian, tetapi kita tidak tahu secara pasti dampaknya. Misalnya: (1) Kita tahu bahwa suku bunga akan naik dan turun, tetapi kita tidak tahu seberapa besar atau kapan perubahan itu akan terjadi; (2) Kita tahu bahwa regulasi dapat berubah dan memengaruhi perusahaan tertentu yang mungkin sedang kita miliki sahamnya, tetapi kita tidak tahu detail perubahannya dan bagaimana dampak pastinya; (3) Kita tahu bahwa harga komoditas berfluktuasi, tetapi kita tidak bisa memprediksi harganya secara tepat terus menerus, dll.
- Unknown Unknowns (Ketidakpastian Yang Tidak Dikenal). Ini adalah risiko atau peluang yang bahkan tidak terpikirkan sebelumnya. Mereka benar-benar di luar perkiraan siapapun di dunia ini dan bisa berdampak besar. Saya senang menggunakan istilah dari Nassim Nicholas Taleb terkait hal ini yaitu “Black Swan”. Misalnya: (1) Tragedi 11 September 2001 yang meruntuhkan menara kembar WTC menyebabkan gangguan di pasar keuangan baik intenasional maupun domestic; (2) Krisis keuangan 2008 yang tak terduga bahwa sistem perbankan bisa runtuh akibat subprime mortgage; (3) Pandemi Covid-19 yang dampaknya terhadap ekonomi global dan rantai pasok sangat besar, tidak ada yang benar-benar siap pada waktu itu, dll.
Seorang investor yang baik setidaknya akan dapat mengelola “known unknowns” dan bersiap untuk menghadapi “unknown unknowns”. Tidak ada yang sempurna dan tidak ada formula rahasia atau jaminan akan kaya dalam berinvestasi. Namun, jika Anda banyak membaca buku tentang investasi baik yang lama maupun baru, ada sebuah hukum investasi yang tak tergoyahkan, yang jika diikuti dengan benar dan diterapkan secara disiplin, akan memastikan kekayaan Anda bertumbuh, bahkan bisa bertumbuh dengan cepat. Apa itu? Itu adalah “the power of compounding”. Sayangnya karena sifatnya yang eksponensial, compounding ini mungkin sulit dibayangkan oleh kebanyakan orang kecuali jika Anda benar-benar menghitungnya menggunakan kalkulator/excel. Makanya saya tidak akan capek menjelaskan hal tersebut bagaimana pun caranya!
“Suatu kali saya bertanya pada kawan saya, mana yang kamu pilih, 100 miliar diterima tunai hari ini, atau 1 juta rupiah hari ini tapi besoknya berlipat ganda selama 30 hari?” Coba Anda jawab pilih yang mana? Saya sarankan gunakan kalkulator atau formula excel!”
Investor yang berusaha untuk mempertahankan compounding yang berkelanjutan dan tanpa gangguan dalam periode waktu yang panjang adalah investor yang cerdas, dan itulah tujuan utama dari Arvest. Saya dan tim di Arvest menghabiskan hampir setiap harinya untuk mencoba mencari dan mengidentifikasi bisnis yang kami sebut “compounding machine”.
Proses investasi dimulai dengan pengakuan bahwa saham sebenarnya adalah bagian dari sebuah bisnis dan pandangan sederhana kami adalah bahwa kami akan berhasil jika:
- Jika bisnis yang kami miliki berhasil
- Jika kami tidak membayar lebih saat membeli saham bisnis-bisnis ini
Lalu bagaimana cara mencari dan mengidentifikasi bisnis-bisnis tersebut? Bisnis yang setidaknya bisa menghadapi known unknown dan unknown unknowns. Inilah topik utama dalam artikel ini.
Arvest memiliki beberapa kriteria yang kami gunakan sebelum memutuskan untuk membeli sebuah bisnis. Bayangkan Anda sedang berdiri di sebuah toko kecil yang menjual perhiasan emas. Pemiliknya, seorang pengrajin perhiasan yang terampil, mulai bercerita tentang bagaimana ia memulai usaha ini dari awal. Ia menjelaskan dengan antusias bagaimana ia memilih setiap permata, merancang setiap potongan, dan melayani setiap pelanggan dengan hati untuk keindahan sejati. Anda sebagai pelanggan merasakan bahwa ini bukan hanya soal menjual perhiasan emas, tetapi tentang menciptakan sesuatu yang memiliki nilai abadi. Saat itu, Anda menyadari bahwa yang dijual bukan sekedar produk, tetapi kepercayaan, keahlian dan cerita.
Demikian pula dalam investasi, memilih bisnis bukan hanya soal membeli saham pada harga tertentu. Anda sedang membeli kepercayaan terhadap manajemen perusahaan, visi jangka panjang, dan kemampuan bisnis itu untuk bertahan di tengah badai. Oleh karenanya checklist kami tidak melulu soal kuantitatif atau angka-angka yang ada dalam laporan keuangan maupun keystats dalam ikhtisarnya, yes sebagian kami memperhatikan angka-angka itu, namun kami juga memberikan perhatian lebih dalam hal-hal kualitatif yang tidak ditunjukkan oleh angka.
Inilah 3 Checklist utama yang kami cari dan renungkan:
1. Dapatkah kami mempercayai manajemen perusahaan?
Kami sering menggunakan metode scuttlebutt atau dengan bantuan internet saat ini, kami dapat dengan mudah mengakses situs direktori putusan Mahkamah Agung RI, Penelusuran Perkara di Pengadilan Negeri di Indonesia, review dari para staff yang bisa didapatkan dari situs pencarian kerja seperti jobstreet, jooble, dll. Intinya untuk mencari hal-hal yang tidak dijelaskan dalam laporan keuangan maupun laporan tahunan.
Selain itu kami juga seringkali menilai apakah top-level management perusahaan berasal dari internal atau eksternal perusahaan, apakah turnover rate-nya cepat, apabila di 7 tahun lalu manajemen memiliki rencana bisnis tertentu lalu bagaimana rencana tersebut saat ini? Sudah tercapai atau hilang begitu saja tanpa alasan jelas, berapa salary-nya relatif dengan size perusahaan dan apa yang sudah dicapai oleh perusahaan.
Kami seringkali mendapatkan penilaian tersendiri yang spesial ketika melakukan hal-hal tersebut dalam menilai top level management perusahaan. Kepercayaan kami kepada manajemen perusahaan seringkali didapat dari hal-hal yang seperti ini.
2. Apa risiko bisnis yang mungkin menggagalkan rencana bisnis perusahaan di masa depan?
Untuk poin yang satu ini kami akan berpikir jauh kedepan terkait hal-hal yang mungkin saja dapat membuat bisnis perusahaan gagal.
Contoh klasik dari hal ini adalah bisnis PT. Modern International, Tbk (MDRN), bayangkan Anda sedang berada di periode tahun 1990-an dan MDRN adalah perusahaan yang berjualan kamera analog berserta perlengkapannya, lalu kemudian di periode 2000-an kamera digital secara cepat membunuh bisnis kamera konvensional yang menghancurkan bisnis MDRN. Tapi hal tersebut bukan hal yang benar-benar tidak diketahui karena teknologi kamera digital sendiri sudah ada sejak 1990-an namun harganya masih sangat mahal sehingga belum bisa berkompetisi dengan kamera konvensional. Bisa dikatakan manajemen MDRN waktu itu tidak dapat mengelola risiko “known unknowns” dengan baik.
Boleh juga Anda berpikir agak ekstrim, misalnya saat Anda menganalisis bisnis yang kekuatan utamanya bersumber dari besarnya modal yang harus disediakan untuk memasuki bisnis tersebut sehingga kebutuhan modal yang besar itu menjadi barrier of entry bagi kompetitor. Silakan saja Anda berpikir ekstrim seperti: “Apabila di masa depan ada konglomerat gila yang bersedia menyediakan modal berapapun dan bahkan bersedia tetap memberi tambahan modal walaupun awalnya bisnis itu berjalan dalam kondisi rugi, apakah perusahaan yang Anda analisis itu tetap bisa bertahan?”
3. Apakah bisnisnya selalu membutuhkan capital infusions agar tetap dapat beroperasi?
Pemahaman terhadap model bisnis sangat membantu setiap investor dalam untuk checklist ini. Pada intinya hindarilah membeli bisnis yang secara terus-menerus membutuhkan dana tambahan untuk operasi sehari-hari agar tetap kompetitif. Jenis bisnis yang demikian cenderung menguras arus kas dan menambah risiko keuangan sehingga dapat mengurangi fleksibilitas perusahaan dalam menghadapi tantangan ekonomi atau pasar di masa depan.
Sebagai ilustrasi saya akan memberikan beberapa contoh terkait hal ini. Tapi sebelumnya disclaimer dulu bahwa belum tentu insight saya benar, Anda yang mungkin memiliki pemahaman lebih mendalam terkait perusahaan yang saya bahas, bisa saja memiliki pendapat yang berbeda!
- Maskapai Penerbangan (GIAA & CMPP)
Perusahaan maskapai penerbangan membutuhkan biaya besar untuk pembelian atau leasing pesawat, perawatan, dan bahan bakar, asuransi, maintenance. Selain itu gaji pramugari dan pilot sangat tinggi dan mereka adalah orang-orang professional yang menurut saya tidak setia, sehingga bisa saja terjadi turnover yang tinggi terhadap tenaga professional tersebut jika ada maskapai lain yang menawarkan gaji lebih tinggi, namun jika maskapai mencari pilot baru yang mungkin kurang berpengalaman, maka reputasi perusahaan akan tercoreng apabila terjadi kecelakaan. Ditambah maskapai juga mengeluarkan capex yang besar untuk biaya pelatihan pilot dan pramugari mereka.
Coba lihat ada berapa hal terkait expenses yang dikeluarkan oleh perusahaan maskapai penerbangan yang sifatnya tidak dapat dikontrol oleh perusahaan. Ada fluktuasi bahan bakar, gaji tenaga professional selalu naik dari waktu ke waktu, biaya asuransi pesawat juga akan selalu naik, biaya maintenance.
Secara kontras pendapatan maskapai dapat dihitung dari kapasitas pesawat, apabila sebuah pesawat Airbus berisi 300 bangku maka itulah volume maksimal yang bisa dijadikan hitungan revenue pesawat tersebut. Namun harga tiketnya berfluktuasi naik turun. Apabila bangku tidak terisi penuh, misal hanya terisi 25% saja pesawat juga harus tetap terbang. Expenses yang saya sebutkan di awal sifatnya fixed dan tidak peduli pesawat itu penuh atau tidak.
Bisnis seperti ini termasuk membutuhkan infused capital terus menerus dalam beroperasi. Karena expenses-nya bersifat fixed tapi revenue-nya sangat elastis. Pesawat harus tetap berangkat walaupun tidak penuh, siapa yang menanggung biayanya? Yes, perusahaan! Terlalu banyak known unknowns dan unknown unknowns dalam bisnis maskapai penerbangan.
- Perhotelan (SHID, JIHD, DFAM, EAST, dll)
Perhotelan juga dapat kita hitung revenue maksimalnya, tinggal cari berapa harga tiket hotel yang kita analisis di situs-situs maupun di aplikasi travel lalu kalikan saja dengan jumlah kamar yang tersedia. Kalau mau hitungan optimis ya hitung saja sebesar 80% okupansi sepanjang tahun. Tapi apakah mungkin? Hal tersebut membutuhkan analisis terhadap lokasi dan segmentasi hotelnya.
Sama dengan maskapai, expenses bisnis perhotelan juga bersifat fixed, listrik, air, internet, biaya peremajaan setiap 5 tahun sekali, biaya staff, dll. Restorannya juga harus tetap menyediakan breakfast setiap hari yang mungkin setiap hari juga dibuang jika tidak habis karena okupansinya tidak sesuai harapan. AC-nya juga harus nyala setiap hari terlepas berapa pengunjungnya, dll.
Siapa yang menanggung biaya-biaya tersebut apabila okupansi hotel misalnya hanya 25% saja sepanjang tahun? Yes, perusahaan hotelnya itu sendiri!
- Perusahaan Start-Up teknologi (GOTO, BELI, DMMX, KIOS, RUNS, dll)
Ada banyak silakan di eksplor macam-macam perusahaan start-up teknologi ini di BEI. Secara operasional perusahaan-perusahaan itu masih rugi karena model bisnisnya memang nyata-nyata membakar uang untuk memperluas pangsa pasar dan menarik pelanggan. Bahkan banyak perusahaan tersebut yang belum menghasilkan laba, sehingga harus bergantung pada pendanaan dari investor atau hasil IPO untuk menutupi kebutuhan operasional.
- Perusahaan Energi atau Komoditas dengan Biaya Produksi Tinggi (TINS, KRAS, dll)
Perusahaan seperti ini membutuhkan modal besar untuk eksplorasi, pengembangan tambang, dan operasional. Jika harga komoditasnya turun, arus kas perusahaan akan sangat terganggu sehingga memerlukan pendanaan tambahan untuk mempertahankan agar perusahaan tetap dapat beroperasi.
- Perusahaan BUMN Konstruksi (WSKT, WIKA)
Proyek infrastruktur seperti jalan tol membutuhkan modal besar di awal, sementara pendapatan dari tol baru bisa diterima setelah proyek selesai. Banyak BUMN konstruksi seringkali harus mencari pendanaan tambahan dari investor, obligasi, pinjaman, right issue untuk menyelesaikan proyek mereka.
Misalnya WSKT harus menjual beberapa jalan tolnya untuk menurunkan kewajiban perusahaan dan menjaga kelangsungan usahanya.
Memang tidak semua perusahaan yang saya sebutkan masuk dalam kategori di atas PASTI jelek, misalnya di bisnis perhotelan ada saja yang bagus seperti PT. Eastparc Hotel, Tbk (EAST) karena hotel ini memiliki segmentasi yang berbeda dan berada di lokasi yang tepat sehingga dapat menghasilkan free cash flow yang positif secara berkelanjutan (DISCLAIMER: Bukan saran buy silakan lakukan analisis lebih lanjut, Arvest tidak memiliki saham EAST!). Di bisnis maskapai pesawat sayangnya tidak ada yang bagus di Indonesia tapi di pasar US ada, namanya Southwest Airlines Co (LUV) yang memiliki model bisnis yang lebih unik dan efisien dibandingkan maskapai penerbangan pada umumnya.
Kami menyarankan dalam berinvestasi agar memikirkan checklist terhadap hal-hal seperti di atas sebelum membeli saham karena sekali lagi, hal-hal yang bersifat spesial dan krusial seringkali tidak ditunjukkan dalam laporan keuangan. Sebaliknya walaupun laporan keuangannya mungkin terlihat buruk, Anda mungkin bisa menemukan titik terang dari perusahaan turnaround juga dari hal-hal yang sifatnya kualitatif.
Thanks for reading…