Siklus Sekuler & Siklikal Dalam Pasar Saham

 

Artikel kali ini bukan bermaksud menebar fear, hanya sebuah pemikiran setelah kami mempelajari sejarah pasar saham baik di Indonesia maupun di negara lain (Amerika dan Jepang) tentang kondisi market saat ini yang ingin kami share ke teman-teman. Kami sendiri juga masih aktif beli saham dan sama sekali belum ada saham dalam portofolio Arvest yang dijual. Update kinerjanya akan kami upload di Youtube pada akhir Maret 2025 nanti. Semoga saja konsisten mengalahkan pasar.


Pertama-tama, ini ada dua istilah yang awalnya saya bingung mau pakai Bahasa Inggris atau Bahasa Indonesia saja.

  • Secular Bear Market = Pasar Bear Sekuler
  • Cyclicals Bull Market = Pasar Bull Siklikal


Sebenarnya pakai Bahasa Inggris lebih enak didengar, tapi saya sebisa mungkin menggunakan Bahasa Indonesia, kecuali istilah “bearish & bullish” biarkan tetap demikian karena jika di Indonesiakan jadinya “Beruang & Banteng” yang berpotensi makin membingungkan.


 

Apa Itu Pasar Saham Sekuler & Siklikal?

Mari kita mulai dengan definisi pasar bear sekuler dan siklikal. Menurut saya, pasar bear sekuler adalah penurunan dalam indeks saham utama setidaknya 40 persen dengan durasi minimal tiga hingga lima tahun alias dalam jangka panjang turun terus. Kejatuhan pasar ini kemudian diikuti oleh periode pemulihan yang panjang. Selama periode ini, bisa saja terjadi pasar bull siklikal, tetapi butuh waktu yang lama sebelum pasar bull sekuler yang baru benar-benar dimulai, di mana indeks saham utama melewati titik tertinggi sebelumnya dan mencapai level tertinggi baru.


Sebaliknya, pasar bear siklikal adalah penurunan tajam setidaknya 15% dan biasanya tidak berlangsung lebih dari satu tahun yang disebabkan kepanikan pasar sehingga pasar saham mengalami kejatuhan yang sangat tajam dalam waktu singkat. Durasi adalah bagian yang mendasar yang membedakan apakah siklus pasar bear/bull ini termasuk sekuler atau siklikal karena waktu dan tekanan yang terus-meneruslah yang mengubah pola perilaku serta membentuk ulang masyarakat pasar saham.


Dalam sejarah Pasar Saham Indonesia, kita telah mengalami beberapa periode pasar bull sekuler. Misalnya, pasar bull sekuler terjadi di tahun-tahun setelah krisis 1998, di mana IHSG mengalami pertumbuhan signifikan hingga tahun 2008 sebelum mengalami penurunan akibat krisis keuangan global. Kemudian, pasar bull sekuler lainnya terjadi pasca 2010, didorong oleh pertumbuhan ekonomi Indonesia yang kuat dan aliran modal asing yang masuk ke pasar domestik. Namun, sayangnya kita tidak pernah mengalami pasar bear sekuler, yes saya katakan “sayangnya” karena pasar bear sekuler inilah yang benar-benar menguji dan mengasah mental para investor supaya makin matang. As Peter Lynch Said,


“In the stock market, the most important organ in the human body is the stomach, not the brain. Anyone can acquire the know-how for analyzing stocks.”


So, untuk menggambarkan pasar bear sekuler saya akan mengambil contoh dari pasar saham US. Saya mengamati ada dua pasar bear sekuler di US dalam satu abad terakhir (1929 hingga 1938 dan 1969 hingga 1974).


Dalam buku The Intelligent Investor karya Benjamin Graham, diceritakan bahwa pasar bearish sekuler US dari 1929 hingga 1938 (9 tahun) merupakan salah satu yang terburuk dalam sejarah pasar saham di dunia, peristiwa ini dikenal dengan sebutan “Great Depression”, pasar saham US turun hampir 90% dari puncaknya dalam kurun waktu tiga tahun. Penyebabnya secara singkat:

  • Akhir Oktober 1929, Dow Jones Industrial Average (DJIA) anjlok lebih dari 25% dalam hitungan hari, melenyapkan kekayaan dalam jumlah besar dan memicu kepanikan masal yang hebat. Penyebab awalnya karena bubble spekulatif pada tahun 1920-an membuat banyak orang membeli saham dengan margin (utang) besar dan saat pasar jatuh, mereka tidak bisa melunasi pinjaman, hal ini memicu likuidasi besar-besaran.
  • Ribuan bank bankrut karena gagal bayar kredit dan penarikan besar-besaran oleh nasabah. Waktu itu belum ada FDIC (Federal Deposit Insurance Corporation) yang bertindak semacam LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) yang menjamin uang nasabah ketika bank mengalami gagal bayar. Alhasil seluruh nasabah kehilangan tabungannya.
  • Alih-alih mencetak uang untuk menstabilkan sistem, The Fed sebagai bank sentral malah menaikkan suku bunga yang justru memperburuk likuiditas pasar.
  • Pemerintah US juga ikut menaikkan tarif impor barang asing, menyebabkan negara lain membalas dengan menaikkan tarif pada produk US. Akibatnya ekspor US anjlok yang semakin melemahkan ekonomi US yang sudah lemah itu.
  • Tingkat pengangguran di US mencapai 25% dan PDB turun lebih dari 30%. Kepercayaan investor dan bisnis runtuh, memperpanjang pasar bearish sekuler hingga 1938.


Mengerikan sekali bukan peristiwa “Great Depression” ini? Tapi untungnya Benjamin Graham yang juga salah satu korban persitiwa itu tidak kapok berinvetasi di pasar saham, malahan dari peristiwa itulah cikal bakal lahirnya filosofi value investing yang luar biasa ini.



Selanjutnya kembali ke Indonesia, walaupun selama ini belum pernah mengalami pasar bear sekuler, tapi setidaknya pernah beberapa kali mengalami pasar bear siklikal. Beberapa periode pasar bear siklikal di pasar saham Indonesia bisa dilihat mulai dari kejatuhan pasar saham pada tahun 1990-1991 (-64,8%) yang disebabkan karena overheating ekonomi di Indonesia dan imbas dari anjloknya bursa Nikkei Jepang dari puncaknya yang memicu kepanikan di pasar Asia lainnya termasuk Indonesia, lalu 1997–1998 (-62,1%) akibat krisis finansial Asia, serta di tahun 2008 (-55,4%) saat pasar tertekan akibat krisis global, dan yang terakhir pada 2020 (-31,1%) karena ketidakpastian ekonomi akibat pandemi COVID-19 yang menyebabkan IHSG turun tajam, tetapi kemudian pulih dalam waktu kurang dari setahun. Bisa teman-teman lihat, COVID-19 yang mengerikan 5 tahun lalu itu sebenarnya adalah yang paling “ringan” dibandingkan kejatuhan sebelum-sebelumnya. Mungkin kejatuhan “ringan” itu disebabkan karena di pasar saham Indonesia ini diberikan batas ARA dan ARB sejak akhir tahun 2000, dan pada waktu itu BEI juga sempat menghentikan perdagangan saham.


Siklus panjang dalam pasar ekuitas di Indonesia bisa diartikan sebagai berikut: tahun-tahun pasca-krisis 1998 hingga sekitar 2008 sebagai pasar bull sekuler, 2008 hingga 2009 sebagai pasar bear siklikal, 2009 hingga 2019 sebagai pasar bull sekuler, dan 2020 sebagai pasar bear siklikal akibat pandemi sebelum kembali pulih. Apakah saat ini kita sudah melihat titik terendah dari pasar bear terbaru di 2025 ini? Kali ini termasuk pasar bear sekuler atau siklikal dan berapa lama pasar bear ini akan berlangsung? Who knows…


Awalnya saya berpikir bahwa kita telah melihat titik terendahnya saat ini, tetapi ketika saya melihat indeks Nikkei 225 (indeks utama pasar saham Jepang), terlihat pasar bear sekuler yang berlangsung sangat lama di sana, setelah titik tertingginya di 1989 pasar Jepang turun selama hampir 15 tahun kemudian. Tapi di antara siklus bear sekuler itu, pasar saham Jepang terus mengalami rally pasar bull siklikal yang tajam, tetapi semuanya hanya rally sesaat sebelum akhirnya pasar kembali jatuh ke titik terendah yang baru.


 


Kubu Bullish & Bearish

Kalau misalnya ada 2 kubu, kubu bullish yang percaya pasar saham Indonesia akan kembali naik mencapai level all-time-high (ATH) baru dan kubu bearish yang percaya bahwa pasar saham Indonesia akan turun, maka posisi saya lebih ke kubu bearish.



Kubu bullish mungkin akan bependapat bahwa IHSG saat ini sudah murah, saham-saham big banks sudah kembali ke harga sebelum 2020 dan berharap tidak lama kemudian harganya akan naik lagi.


Teman-teman masuk kubu yang mana?


Pendapat saya, IHSG tidak akan kembali ke puncak yang dicapai pada tanggal 19 September 2024 yaitu di level 7.905 dalam waktu dekat. Alasannya adalah karena di level all time high (ATH)-nya, IHSG ditopang oleh saham-saham yang baru IPO di harga kelewat mahal. Sebut saja PANI, BREN, CUAN, CBDK, AMMN dan saham-saham lama dalam grup Barito yang juga ikut terkerek naik di harga yang tidak masuk akal (TPIA, BRPT, PTRO), sebelumnya juga ada GOTO, BUKA yang meramaikan pasar. Saham-saham overvalued parah ini ibarat bubble yang ditiup terlalu besar sehingga hanya menunggu waktu saja untuk pecah, tapi tidak tahu kapan pecahnya. Tentu saja tebakan saya akan salah jika bubble-nya tidak pecah-pecah dan makin besar lagi. Hanya kegilaan spekulatif warga pasar saham saja yang bisa menekan bubble itu semakin besar.



Saham-saham beban IHSG di atas itu kira-kira market cap-nya sekitar 2.500 triliun, sedangkan 4 big banks ditambah ASII juga market cap-nya sekitar 2.500 triliun. Tapi dari 4 big banks itu yang murah secara absolut cuma satu bank saja, sedangkan BBCA sebagai the bluest of bluechip-nya IHSG beserta 2 bank lainnya, saat ini sebenarnya sudah overvalued. Saham market cap besar di IHSG lainnya yang dulu pernah merajai puncak klasemen IHSG seperti HMSP, GGRM dan UNVR, posisinya juga saat ini sudah sulit untuk bangun lagi. So, praktis penurunan IHSG yang disebabkan oleh saham-saham baru IPO itu diredam hanya mengandalkan 4 big banks, ASII dan mungkin TLKM saja yang harus mampu bangkit harga sahamnya. Let’s see…


Namun, itu bukan berarti kesempatan untuk berinvestasi di IHSG sudah tidak ada. Sebaliknya, justru saat ini banyak saham-saham yang dijual di harga undervalued kalau kita teliti mencarinya. Saham-saham small-mid caps tidak selalu ikut-ikutan permainan saham-saham besar itu.

 

Kapan Pasar Saham Memasuki Siklus Pasar Bull Sekuler Berikutnya?

Amat sangat sulit untuk menebak kapan pasar saham akan benar-benar memasuki fase bull sekuler berikutnya. Bull yang saya maksud adalah pasar bull yang sesungguhnya yang disebabkan karena 4 hal di bawah ini terpenuhi, bukan karena disebabkan ada IPO super overvalued jumbo baru yang harganya terus terkerek naik sampai ke never-never-land. IPO yang seperti itu hanya menyebabkan pasar bull fatamorgana. Ada 4 kondisi yang dibutuhkan agar pasar saham bisa bangkit kembali yaitu:

1. Kelancaran likuiditas: belum terpenuhi saat ini, karena warga Indonesia secara umum masih belum terlalu berani spend money kecuali untuk konsumsi kebutuhan dasar. Pemerintah sudah membantu memberikan stimulus dengan penurunan suku bunga. Baru-baru ini BI juga telah menggelontorkan 375 triliun untuk likuiditas bank supaya dapat disalurkan sebagai kredit ke sektor riil untuk menjaga stabilitas ekonomi.


2. Struktur utang harus mengalami deflasi: sudah terpenuhi, per kuartal IV 2024, utang luar negeri Indonesia menurun dibandingkan dengan PDB dengan rasio turun menjadi 30,4% dibandingkan sebelumnya 31,1% di kuartal III 2024.

Di masa lalu, pada periode 1990-1998 utang luar negeri Indonesia meningkat drastis akibat krisis finansial Asia, rasio utang terhadap PDB mencapai lebih dari 100% akibat bailout pemerintah terhadap sektor perbankan.


Periode 1999-2004, walaupun nominal utang masih meningkat, tetapi pertumbuhan ekonomi lebih cepat dari pertumbuhan utang yang menyebabkan rasio utang terhadap PDB menurun. Sejak 2000-an pemerintah Indonesia mulai melakukan pembayaran utang luar negeri secara lebih agresif terutama setelah bantuan dari IMF yang menyebabkan utang luar negeri Indonesia turun dari sekitar US$ 82 miliar (2000) menjadi sekitar US$ 76 miliar (2004).


Periode 2005-2012, pemerintah melunasi utang IMF lebih cepat dari jadwal, mengurangi ketergantungan pinjaman luar negeri. Rasio utang terhadap PDB turun signifikan, dari 56% (2004) menjadi sekitar 24% (2012), meskipun secara nominal utang tetap bertambah.


Periode 2013-2019, sejak pemerintahan Presiden Jokowi (2014), utang meningkat karena ekspansi besar dalam pembangunan infrastruktur. Nominal utang meningkat dari sekitar Rp. 2.600 triliun (2014) menjadi Rp. 4.700 triliun (2019), tetapi rasio terhadap PDB masih relatif terkendali dari 24,9% di 2013 naik menjadi 30,5% di 2019.


Periode 2020-2022 terjadi lonjakan drastis akibat pandemi COVID-19 yang memaksa pemerintah memperbesar utang demi stimulus ekonomi. Utang naik dari Rp. 4.700 triliun (2019) menjadi lebih dari Rp. 7.000 triliun (2022). Rasio utang terhadap PDB meningkat menjadi 39,37% (2020), mencapai puncaknya 41% (2021) lalu turun sedikit menjadi 39,57% (2022).


3. Permintaan yang terpendam atas barang dan/atau jasa: belum terlihat jelas dan agak susah untuk dilihat untuk yang satu ini. Intinya harus ada permintaan yang tertahan atau terakumulasi terhadap barang dan jasa yang pada saat ekonomi lesu, di mana konsumen dan bisnis menunda pembelian atau investasi karena berada dalam kondisi wait & see dulu, dan pada waktu kondisi ekonomi sudah mulai membaik, permintaan yang sebelumnya tertahan itu akan terlepas dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang mendorong siklus baru di pasar saham.


4. Saham harus sangat murah berdasarkan valuasi absolut: Saat ini sudah banyak saham murah, namun bobot IHSG sebesar 50% lebih hanya ditopang oleh 10 saham saja (BBCA, BBRI, BMRI, AMMN, TLKM, BREN, TPIA, BYAN, ASII, BBNI) sedangkan total jumlah saham yang ada di IHSG lebih dari 900 saham. Dari 10 saham top kontributor terhadap bobot IHSG itu, yang secara absolut murah menurut saya hanya ada 2 buah saja dan kebetulan keduanya adalah yang paling kecil kontribusinya dari 10 saham itu. Dalam perspektif ini, Price-to-book value (PBV) adalah ukuran valuasi yang paling stabil karena tidak terlalu terpengaruh oleh siklus ekonomi seperti ukuran valuasi berbasis pendapatan.



Tidak ada yang tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan agar IHSG melampaui puncaknya di 2024. Namun, sejauh ini di Indonesia belum ada peristiwa ekonomi yang sebanding dengan Great Depression atau seperti kehancuran yang dialami Jepang (lihat saja setelah rally di tahun 2005, Jepang masih turun lagi 70% dari puncaknya).


Apapun kondisi pasarnya, strategi yang tepat bagi seorang investor adalah tidak boleh terus menerus merasa takut akan peristiwa ekonomi ekstrim seperti itu, investor tidak perlu terlalu khawatir untuk melakukan “Hedging” terhadap sesuatu yang tidak bisa diprediksi, ini hal yang sia-sia. Sebaliknya, investor harus tetap berinvestasi dengan asumsi bahwa ekonomi akan terus bertumbuh dalam jangka panjang, meskipun ada siklus naik-turun. Dengan kata lain, tetaplah fokus pada nilai fundamental perusahaan dan potensi pemulihan ekonomi!


Akhir kata, di artikel yang cukup rumit ini semoga tebakan saya salah. Hehehe…

 

Thanks for reading…