Mengenal Enterprise Value Dan Penggunaannya

 

Bayangkan anda sedang ingin membeli sebuah rumah, kemudian anda melihat-lihat perumahan yang ada di Pakuwon dan anda tertarik pada sebuah rumah. Kemudian anda mulai mengontak broker yang namanya terpampang di depan pagar, ketika anda mengatakan ingin membeli rumah tersebut, si broker mengatakan bahwa rumah itu dijual seharga 5M rupiah.

 

Angka 5M itu yang di dalam saham disebut dengan market price, angka yang terus bergerak di running trade saham yang anda pantau setiap hari. Pada umumnya, para trader hanya berfokus dengan harga saham yang terus menerus bergerak setiap detik, namun tidak memahami harga itu mewakili apa saja.

 

Jikakalau rumah yang dijual seharga 5M itu, ternyata di dalamnya terdapat UANG CASH di lemari sebesar 1M, maka sejatinya harga yang dibayarkan oleh calon pembeli bukan 5M, melainkan 4M (walaupun transaksinya di harga 5M, tapi ada kembalian uang kaget 1M di lemari).

 

Namun ternyata, ketika akan dibeli, rumah yang harganya 5M tersebut masih memiliki HUTANG alias belum lunas dan besaran hutangnya sebesar 2M rupiah.

 

5M yang ditawarkan dalam dunia saham disebut dengan MARKET CAP (harga saham x lembar saham beredar). 1M dalam dunia saham disebut dengan CASH. Hutang 2M dalam dunia saham disebut dengan DEBT.

Perhitungan enterprise value sendiri menggunakan rumus


Enterprise Value (EV) = Market Cap + Debt – Cash


di mana kalau kita gunakan di analogi rumah tersebut menjadi


EV = 5M + 2M – 1M = 6M.

 

Dari ilustrasi di atas maka harga rumah tersebut dapat di breakdown menjadi 2 komponen yaitu: value of equity dan value of debt. Setelah seluruh debt dilunasi, maka sisanya adalah ekuitas/equity.

Apabila harga sebuah saham adalah Rp. 1.000,- per lembar dan total lembar saham beredar 200.000.000 lembar maka value of equity saham tersebut di pasar saham adalah Rp. 200.000.000.000,- (umumnya ini disebut dengan market capitalization/market cap). Katakanlah bisnis tersebut memiliki debt sebesar Rp. 300.000.000.000,- dan memiliki laba sebesar Rp. 40.000.000.000,-. Apabila kita menghitung P/E Ratio maka bisnis ini terlihat murah karena diperdagangkan dengan P/E Ratio 5x (200.000.000.000 / 40.000.000.000 = 5x) karena kita hanya memperhitungkan value of equity saja. Namun apabila kita memasukkan faktor value of debt ke dalam perhitungannya maka hasilnya akan berbeda. Hitungannya menjadi 500.000.000.000 / 40.000.000.000 = 12,5x. Rp. 500.000.000.000,- adalah value of equity dan value of debt, ini adalah yang seharusnya secara teoretis value of the business.

 

Tetapi ada satu komponen lagi yang perlu diperhitungkan selain kedua komponen di atas (equity and debt) yaitu surplus kas atau kas yang ada di laci perusahaan. Bayangkan ketika Anda membeli rumah tadi, Anda memiliki pilihan 2 rumah yang bersebelahan dan berdesain sama persis, masing-masing dijual dengan harga yang sama yaitu Rp. 10.000.000.000,- tapi salah satu rumah memiliki laci yang berisi uang tunai sejumlah Rp. 2.000.000.000,-. Rumah mana yang anda pilih? Pasti rumah dengan laci berisi uang tunai. (Ya memang nyatanya tidak ada orang jual rumah dengan meninggalkan uang tunai, tapi di jual beli bisnis/perusahaan hal ini selalu ada).

 

Kembali ke Contoh perusahaan di atas. Seandainya perusahaan itu memiliki kas sejumlah Rp. 100.000.000.000,- dengan 200.000.000 lembar saham beredar, maka nilai kas itu adalah 500 rupiah per lembar saham. Tentu saja semakin besar kas-nya maka akan semakin besar value perusahaan tersebut. Kas adalah salah satu source of value. Kelebihan Kas secara tidak langsung berkaitan ke harga beli Anda yang lebih murah terhadap sebuah saham. Apabila Anda membeli saham seharga Rp. 2.500,- per lembar saham dan memiliki Kas senilai Rp. 500,- per lembar saham maka secara teoretis Anda membeli saham itu senilai Rp. 2.000,- per lembar saham. Dengan EPS 200 rupiah per lembar saham, maka Anda dapat mengatakan bahwa Anda membeli saham itu dengan harga 10x pendapatan dibandingkan 12,5x pendapatan apabila kita tidak memfaktorkan kas.

 

Dari pengalaman kita dalam proses merger akuisisi maupun IPO, para IB (Investment Banker) seringkali melakukan valuasi menggunakan rumus EV / EBITDA. Nilai Enterprise Value dibagi dengan nilai Pendapatan Sebelum Bunga, Pajak, Depresiasi Dan Amortisasi kemudian mereka bandingkan dengan EV/EBITDA di industri sejenisnya.

 

Sebagai contoh misal di industri Farmasi

KLBF EV/EBITDA = 17,36x

TSPC EV/EBITDA = 6,17x

DVLA EV/EBITDA = 10,03x

IKPM EV/EBITDA = 12,18x

SIDO EV/EBITDA = 11,91x

Rata-rata (Mean) EV/EBITDA = 11,53x

 

Jika perusahaan ditawarkan di EV/EBITDA di atas rata-rata, mereka mengkategorikan sebagai harga premium, sedangkan jika di bawah rata-rata dikategorikan sebagai harga undervalue. Semakin rendah EV/EBITDA suatu emiten, semakin murah secara valuasinya.

 

LIMITATIONS EV



Tentu saja apabila investor ingin menggunakan formula ini, maka investor harus mempertimbangkan apakah kas dalam neraca bisnis itu akan tetap ada disitu bahkan terus bertambah, atau kedepannya akan tergerus habis karena perusahaan itu adalah perusahaan cyclical yang telah menuju ke masa penurunan siklusnya. Jika perusahaan kedepannya tidak lagi profitable dan malah menghabiskan kas agar tetap dapat beroperasi, maka investor harus berhati-hati.